Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mengungkapkan bahwa uji materiil terkait ketentuan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang saat ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) telah memasuki tahap kritis dan memicu banyak perdebatan serta kritik.

Menurutnya, perdebatan ini tidak hanya berkisar pada angka usia, tetapi juga melibatkan tafsir dan makna konstitusional dari ketentuan batas usia tersebut.

Pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa seorang calon presiden atau calon wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, atau walikota.

Baca Juga:  Aktris Maudy Ayunda Dipilih Jadi Jubir Pemerintah dalam KTT G-20, Apa Alasannya?

Permohonan uji materiil ini telah mengundang kontroversi, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa ini bukan lagi sekadar masalah batas usia, tetapi lebih kepada upaya pengujian terhadap interpretasi konstitusi terhadap ketentuan tersebut.

Hendardi menjelaskan bahwa deretan permohonan uji materiil ini tampaknya memiliki latar belakang politik yang lebih dalam, dengan dugaan kuat bahwa ada nafsu kuasa keluarga Presiden Jokowi dan para pendukungnya yang ingin mengusung Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, yang belum mencapai usia 40 tahun, sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang mendampingi Prabowo Subianto.

“Deretan permohonan uji materiil ini bukan lagi ditujukan untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga tetapi diduga kuat dilandasi nafsu kuasa keluarga Jokowi dan para pemuja Jokowi yang hendak mengusung Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, yang belum genap 40 tahun, sebagai cawapres Prabowo,” kata Hendardi dalam keterangannya, Senin (10/9).

Baca Juga:  9 Orang Jadi Korban Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar

Hendardi mengatakan, sejumlah pakar hukum dan aktivis hukum dan konstitusi telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap permohonan ini. Mereka berpendapat bahwa masalah batas usia untuk menduduki jabatan bukanlah isu konstitusional, melainkan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang seharusnya tidak menjadi domain MK untuk diuji.

Selain itu, mereka mengingatkan bahwa berbagai putusan MK sebelumnya telah mengkonfirmasi hal yang sama.