Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan akan membacakan putusan terkait judicial review (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 40 tahun.

Usia minimal 40 tahun ini diminta untuk diturunkan menjadi 35 tahun atau bahkan 25 tahun, dan atau yang pernah menjabat sebagai penyelenggara negara, sehingga meskipun belum berusia 40 tahun, seseorang tetap bisa menjadi capres-cawapres kalau pernah menjadi penyelenggara negara seperti gubernur, bupati atau walikota.

Putusan MK akan dibacakan hanya tiga hari sebelum dimulainya pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pilpres 2024, yakni Kamis (19/10).

Disinyalir, uji materi yang diajukan itu untuk mengakomodasi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah. Apalagi Gibran yang baru berusia 36 tahun ini mengaku ditawari Prabowo Subianto, capres dari Partai Gerindra, untuk menjadi cawapresnya.

Baca Juga:  Polda NTT Tetapkan Kapten KM Cantika Express 77 sebagai Tersangka

Akademisi Rocky Gerung pun mengecam keras langkah MK yang tetap menyidangkan perkara terkategori “open legal policy” (kebijakan hukum terbuka) itu yang semestinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR RI.

“Kita mewakili kemarahan publik terhadap kemaksiatan di Mahkamah Konstitusi. Kita menghendaki ada semacam etika. Etis enggak kalau PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang ketuanya Kaesang Pangarep (adik kandung Gibran) meminta MK yang ketuanya pamannya, Anwar Usman, supaya Gibran dijadikan calon wakil presiden, dan setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga. Ini pertama,” kata Rocky Gerung dalam rekaman suara yang dibagikan kepada media, Rabu (11/10).

Kedua, kata Rocky, generasi baru tak boleh mewarisi keburukan-keburukan MK. “Betkali-kali saya terangkan, MK adalah Mahkamah Konstipasi (sembelit, red) kayak ngeden begitu. Ini bagian terburuk dari praktik konstitusi kita,” jelasnya.

Kritik atas MK tersebut, kata Rocky, bukan sekadar mempersoalkan gugatan itu masuk akal secara hukum tata negara atau tidak. “Ini tidak masuk akal secara etis, dan `public etic` (etika publik) itu yang sesungguhnya dilanggar MK berdasarkan kesepakatan dengan Jokowi,” paparnya.

Baca Juga:  Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Alibi Hakim MK Arief Hidayat Soal Tak Elok Panggil Jokowi

“Dua institusi ini, Presiden dan MK, berkomplot untuk membatalkan dasar-dasar berdemokrasi,” lanjutnya.

Untuk itu, kata Rocky yang juga adalah salah seorang pendiri Setara Institute, harus ada kemarahan publik yang diucapkan dengan tegas bahwa rakyat menuntut keadilan konsutitusional. Rakyat menuntut kemasukakalan langkah-langkah Jokowi yang tetap cawe-cawe. Ini yang akan berakhir dengan kebingungan politik hari ini,” cetusnya.

“Prabowo sendiri bingung enggak? Pasti bingung. Bayangkan, misalnya Prabowo dikirimi Gibran (sebagai cawapresnya), dan Ganjar Pranowo dikirimi Khofifah Indar Parawansa (sebagai cawapresnya), pasti kalah Prabowo. Karena Gibran enggak menambah elektabilitas Prabowo. Kalau untuk mewakili generasi muda, bukankah Prabowo sudah melakukan dengan ide-idenya,” terang Rocky.

“Ini adalah percobaan untuk mengkudeta konstitusi. Bahkan memperburuk proses-proses pendidikan politik dan demokrasi yang beradab di Indonesia,” tukasnya.