Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat menyebut kesadaran masyarakat untuk partisipasi dalam berdemokrasi sudah semakin membaik. Namun demikian, oligarki politik tetap menjadi ganjalan untuk menghadirkan demokrasi yang sehat.

“Dan rakyat juga sadar, banyak orang baik yang tidak terjaring oleh parpol (partai politik). Sementara di parpol mereka juga kecewa karena tidak terwakili. Ini hemat saya suatu progres kesadaran berdemokrasi yang cukup signifikan yang terjadi di Indonesia,” kata Komaruddin dalam sebuah diskusi daring yang digelar Moya Institute, bertajuk “Pandemi dan Siklus Politik Indonesia Jelang 2024”, Jumat (21/1).

Menurut Komaruddin, hal itu tampak pada munculnya kesadaran kolektif dimana rakyat tahu banyak orang baik namun tidak dapat masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif. Sebab, legislatif/eksekutif diisi oleh mereka yang memiliki modal uang dan massa.

“Massa itu bisa dijaring dengan simbol-simbol agama, dengan uang. Dan ini ternyata juga memanipulasi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan utk rakyat. Karena rakyat dibeli, bukan diwakilkan. Suara rakyat dibeli,” ujar dia.

Jika tidak direspon atau disadari, Komaruddin khawatir akan muncul satu gerakan baru di tengah masyarakat yang bisa mengambil-alih kekuasaan.

Menurut dia, meski tak harus turun ke jalanan, gerakan baru ini justru akan bermain dari ranah virtual, terutama karena kondisi pandemi Covid-19 yang memungkinkan setiap orang bebas berbicara.

“Orang boleh kecewa dengan wakilnya di Senayan tapi setiap orang punya peluang untuk berbicara, entah lewat Youtube, podcast, dan sebagainya. Kalau ini tidak disadari oleh pemerintah dan kita semua, ini akan menimbulkan satu ongkos tragedi yang mahal. Misalnya, dulu Bung Karno, soft landing, Suharto juga soft landing. Dan ini kalau tidak hati-hati, bisa soft landing lagi,” tegasnya.