Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyakinkan stimulus fiskal menjadi lompatan bagi ekonomi Indonesia mampu bertahan dari dampak pandemi virus Corona atau COVID-19.

“Melalui stimulus, kita akan menjaga pertumbuhan ekonomi di atas nol persen, mendekati satu persen,” ujar Menteri Sri Mulyani.

Sri Mulyani meyakini stimulus sebesar Rp677,20 triliun untuk penanganan wabah COVID-19 termasuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) membawa ekonomi Indonesia tumbuh pada zona yang positif.

Pertumbuhan ekonomi ini, bukanlah sekedar persentase angka belaka namun memiliki gambaran besar perekonomian suatu negara.

Ia menjelsakan, pemerintah memiliki dua skenario pertumbuhan ekonomi dampak COVID-19 yakni sebesar 2,3 persen untuk skenario buruk dan negatif 0,4 persen untuk skenario sangat berat. Tentunya, kini kerja keras harus ditempuh agar ekonomi Nusantara tidak sampai menyentuh level negatif.

Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia menyentuh negatif, ancaman terbesar adalah kemiskinan dan pengangguran yang jatuh lebih dalam.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2019, Indonesia memiliki penduduk miskin mencapai 24,79 juta atau menurun 0,88 juta dibandingkan periode sama tahun 2018.

Sedangkan tingkat pengangguran, BPS mencatat pada Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau bertambah 60 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu.

Mencermati situasi yang serba tidak pasti ini, ada risiko bertambahnya penduduk miskin dan penggangguran karena wabah COVID-19.

Jika bertambah semakin banyak, maka tugas pemerintah dalam memulihkan keadaan juga akan semakin berat.

Pelebaran defisit

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah harus membuat kebijakan baru untuk menahan laju kemiskinan dan pengangguran yakni dengan melebarkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020.

Dengan defisit yang diperlebar, kata dia, maka pemerintah merevisi postur APBN tahun 2020 untuk yang kedua kalinya.

Sebelumnya dalam revisi pertama sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2020, defisit APBN mencapai 5,07 persen sebesar Rp852,9 triliun menjadi 6,34 persen sebesar Rp1.039,2 triliun.

Dengan begitu, Perpres 54 tahun 2020 ini akan direvisi untuk mengubah struktur fiskal yang digunakan untuk penanganan COVID-19 dari sisi kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Total alokasi yang dianggarkan pemerintah mencapai Rp677,20 triliun sebagai stimulus fiskal.

Dari jumlah tersebut, biaya untuk PEN mencapai Rp589,65 triliun yang dibagi dalam dua garis besar yakni untuk menopang biaya konsumsi masyarakat (demand) dan untuk sektor usaha atau produksi (supply).

Untuk sisi konsumsi masyarakat, pemerintah mengalokasikan Rp205,20 triliun dan sisi produksi atau sektor usaha mencapai Rp384,45 triliun.

Jika diurai lebih lanjut, biaya menopang konsumsi masyarakat itu digelontorkan dalam bentuk perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun meliputi perluasan program keluarga harapan (PKH), sembako, bantuan sosial di Jabodetabek dan luar Jabodetabek.

Kemudian, kartu prakerja, diskon tarif listrik, logistik/pangan/sembako serta bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa.

Tak hanya itu, juga dialokasikan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar Rp1,3 triliun.

Sedangkan, dari sisi sektor usaha, pemerintah mengalokasikan Rp384,45 triliun yang mendukung kapasitas produksi dari segala sisi terdiri dari subsidi bunga untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebesar Rp35,28 triliun.