Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengusulkan adanya evaluasi terhadap sistem Pilkada langsung. Menurut dia, selama ini banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena tingginya biaya Pilkada.

Pernyataan Tito ini menjawabi wacana pelarangan mantan narapidana kasus korupsi di Pilkada 2020. KPU telah mengusulkan kepada Komisi II DPR untuk merevisi UU Pilkada dengan tujuan melarang narapidana kasus korupsi mencalonkan diri.

“Justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem Pilkada saat ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya, ada partisipasi. Tapi banyak mudaratnya, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau tidak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia,” kata Tito di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/11).

Tito berdalih usulan itu bukan berarti setuju dengan wacana pemilihan tak langsung alias melalui DPRD. Tito mengatakan, sebaiknya melakuan riset akademik untuk mengetahui dampak positif dan negatifnya.

“Survei, lakukan riset akademis tentang dampak negatif dan positif Pilkada langsung,” kata dia.

Tito mengatakan, sebagai mantan Kapolri, dalam pengamatannya, Pilkada langsung justru memiliki banyak dampak negatif, ketimbang positif. Selain sumber konflik, sistem Pilkada langsung membutuhkan biaya yang tinggi dan menyebabkan kepala daerah terjerat kasus korupsi.

“Sebagai mantan Kapolri, kalau ada OTT (operasi tangkap tangan) kepala daerah, no, it`s not surprise for me. Itu bukan suatu kejutan,” tukas Tito.