Tajukflores.com – Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi bisnis sapi yang besar. Hal ini didukung oleh jumlah penduduk yang terus meningkat, kesadaran gizi masyarakat yang juga semakin meningkat, dan sumber daya alam yang melimpah.

Konsumen menyukai daging sapi yang diyakini mengandung nutrisi tinggi terutama protein dan asam amino untuk memenuhi kebutuhan protein dalam tubuh.

Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri secara mandiri. Pada tahun 2022, Indonesia masih mengimpor sekitar 40% kebutuhan daging sapinya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun peta jalan pengembangan bisnis sapi di Indonesia yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Peta jalan tersebut harus mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas ternak, meningkatkan efisiensi tata niaga, menurunkan ketergantungan impor daging, dan meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat.

Kondisi Saat Ini

Saat ini mayoritas (90 persen) usaha peternakan sapi potong berupa peternakan rakyat yang terkonsentrasi di Pulau Jawa (42,92 persen) dan sisanya (57,08 persen) tersebar di luar pulau Jawa.

Rata-rata ternak yang dipelihara berupa sapi lokal Indonesia (Bali, Madura) yang dipelihara secara tradisional.

Populasi ternak sapi potong pada tahun 2022 sebanyak 18-juta ekor, tetapi yang dapat dipotong setiap tahun hanya 12 persen saja atau sekitar 2,1 juta- 2,7 juta ekor.

Pemenuhan daging harian rakyat Indonesia bersumber dari pemotongan sapi lokal “sisa sapi qurban”, sapi betina, sapi bakalan impor, dan daging beku impor.

Data SINAS SK (2023) menyebut jumlah bakalan impor yang pada tahun 2023 sebanyak 244.682 ekor dan daging beku sejenis lembu (sapi dan kerbau) diimpor sebanyak 278,8 ribu ton.

Semakin banyak impor daging beku (khususnya daging kerbau dari India) dengan harga murah (sekitar Rp100.000,00 per kg di tingkat pengecer) yang diharapkan dapat menurunkan harga daging sapi, ternyata berdampak sebaliknya.

Harga daging beku justru “terkatrol” naik. Fakta yang juga terjadi adalah kenaikan harga daging sapi dan harga daging kerbau setiap tahun tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh peternak rakyat.

Kondisi peternak sapi lokal dari waktu ke waktu tidak berubah dan “diduga” mulai menurun semangatnya. Terlihat dari data Sensus Pertanian 2023 (ST2023) terjadi penurunan jumlah rumah tangga subsektor peternakan per 1 Mei 2023 sebesar 7,12 persen dibanding pendataan per 1 Mei 2013 dengan jumlah populasi sapi sebesar 11,32 juta ekor atau terjadi penurunan sebesar 13,79 persen.

Penyebab

Peternak rakyat adalah subyek utama penentu ketersediaan daging dan swasembada. Jika memperhatikan panjangnya tata niaga sapi potong di Indonesia saat ini, mulai dari pembibitan, pembesaran, penggemukan, Rumah Potong Hewan (RPH) dan lapak daging masih mengeluarkan biaya produksi yang cukup tinggi maka “wajar” jika harga daging lokal masih lebih tinggi dibanding daging impor.

Pada titik pembibitan harga bakalan sapi lokal si Indonesia masih lebih tinggi dibanding sapi bakalan impor, sebagai contoh harga bakalan sapi Brahman Cross (BX) berkisar Rp42.000 – Rp46.000/kg sedangkan untuk bakalan Bali berkisar Rp65.000 – 70.000/kg dengan kisaran bobot yang sama.

Kemudian pada fase penggemukan biaya produksi masih tinggi mulai dari sarana prasarana dan pakan.

Kisaran biaya produksi untuk mendapatkan satu kg daging sapi lokal sekitar Rp30.000,00 dan Rp21.000,00 pada sapi silangan. Kondisi ini dimungkinkan karena potensi genetik silangan yang lebih baik.

Kemudian pada Rumah Potong Hewan (RPH) masih banyak pungutan liar yang berakibat keengganan peternak melakukan pemotongan di RPH sehingga ditemui tempat pemotongan hewan yang belum terdaftar apalagi tersertifikasi.

Biaya produksi dan tata niaga yang cukup panjang, berdampak pada harga jual daging lokal di lapak daging. Belum lagi ditambah target keuntungan bagi masing-masing pelakunya.