Untuk menarikan tarian caci, diperlukan syarat-syarat khusus seperti kemampuan menangkis dan memukul lawan, mampu menari dan bernyanyi lagu-lagu daerah, serta memiliki badan yang atletis.

Tarian Caci bukan hanya sekadar bentuk seni belaka, namun juga merupakan salah satu bentuk olahraga tradisional Suku Manggarai yang membentuk orang-orang yang berjiwa ksatria dan mampu mengendalikan emosi.

Wanita juga memiliki peran penting dalam tarian caci. Mereka turut ambil bagian sebagai penonton yang membuat lingkaran di dalam arena yang disebut danding, serta sebagai penyanyi dan penari pembuka dalam tarian ini.

Wanita juga bertugas sebagai penabuh gong dan gendang untuk mengiringi pemain caci dalam pertunjukan. Hal ini menunjukkan bahwa tarian caci tidak hanya menjadi bagian dari budaya dan tradisi laki-laki, namun juga melibatkan peran aktif wanita dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya ini.

Menurut Yasintus Jaar, tokoh Manggarai di Jakarta, caci bukan sekedar tarian untuk menunjukkan sikap ksatria, tapi juga memperlihatkan bagaimana laki-laki harus `tunduk` sebelum mampu memikat hati seorang gadis.

“Karena dia harus perlihatkan dulu apakah dia bertanggungjawab atau tidak,” kata Yasintus Jaar, tokoh Manggarai di Jakarta kepada Tajukflores.com dalam sebuah kesempatan.

Yasintus mengatakan, terkadang seorang wanita jatuh hati karena ketangkasan dan keluwesan penari caci, tapi dia selalu punya hak untuk memutuskan apakah ia menerima atau tidak laki-laki tersebut. Sebab, kata Yasintus, laki-laki yang lebih disukai seorang gadis adalah ia yang kelak menjadi tulang punggung keluarga dan mampu menjaganya hingga akhir hayat.

“Biasanya penari yang jago lomes (pandai nyanyi dan memainkan pantun) dan tangkas bisa meluluhkan hati seorang gadis,” ucapnya.