Ketika sendiri ingin lepas saja, berlari, Ke sabana, ke padang luas, menjemput kematian…
GEMURUH DAN AWAN HITAM itu telah pergi. Mereka beranjak menuju puncak yang tingginya sepuluh kali dari tinggi laki-laki dewasa. Di sana terdapat sabana yang membentang jauh ke timur dan ke barat hingga melewati batas kampung mereka. Kata bapaknya, sabana itu milik semua penghuni kampung karena semua penghuni kampung bebas menggembalakan ternak-ternak mereka di sabana tersebut.
“Ada yang bisa mengejarku?” teriak seorang bocah menantang kawan-kawannya dari ketinggian.
Leko nama bocah itu. Ia berlari mendahului mereka. Berlari ke atas bukanlah hal sulit. Dakian itu tak terlalu curam, bahkan dapat dikatakan hanya bidang miring yang dipenuhi rumput-rumput mati karena musim kemarau yang panjang ini. Musim kemarau yang merindukan hujan.
“Hati-hati, Leko,” sahut Basty, seorang yang berbadan paling besar di antara penggembala itu.
“Kita tak cukup membawa air hari ini. Persediaan kita telah menipis. Aku tak mau kau mengulangi kecerobohanmu tadi pagi,” ujarnya menahan dongkol kepada Leko.
Perhatian itu tak sepenuhnya benar. Basty menyerukan kata-kata itu agar Leko tak terlalu jauh meninggalkan mereka, meski ia tahu jika Leko tak mungkin tersesat. Tadi pagi, sebelum berangkat, Basty menyuruh Leko untuk mengisi penuh kantong tempat air mereka yang terbuat dari kulit sapi.
Namun, Leko lupa. Dia hanya mengisi kantong miliknya saja. Jadilah mereka harus menghemat air yang ada. Lantas, bagaimana dengan sapi-sapi mereka? Basty ingin mengandalkan cekdam. Mungkin dengan hujan dua bulan kemarin cekdam itu sudah penuh oleh air. Tapi, itu mustahil.
Musim kemarau yang cukup panjang membuat semua penggembala datang membawa sapi-sapi mereka ke cekdam. Basty hanya berharap semoga masih ada sedikit air di cekdam untuk sapi-sapinya. Leko tak menggubris kata-kata itu. Ia berlari mendapati rumput-rumput di sabana, meliuk di antara barisan pohon-pohon cemara hutan.
“Wooi… kejar aku!” teriaknya kegirangan. “Berhenti Leko. Kau sudah terlalu jauh. Ayo kembali!”
Sabana ini luas, dan Basty takut adiknya itu diserang sapi-sapi liar. Basty meniup peluit panjang dengan marah. Bunyi peluit itu melengking dan membingungkan sapi-sapi di sekitar mereka. Tiap penggembala seperti dirinya pasti memiliki peluit untuk memanggil sapi-sapi mereka di sabana.
Kemudian, sapi-sapi itu akan datang jika mendengar bunyi peluit yang sudah dihafal. Memang, seorang penggembala jarang meniup peluit sebelum sampai di tempat sapi-sapi mereka berada. Ini aturan alam, sapi-sapi liar biasanya tak suka bunyi peluit. Mereka bisa saja datang dan menyeruduk.
Namun, Leko sudah keterlaluan. Basty memukul dahi untuk menunjukkan penyesalan. Seharusnya ia tak membiarkan Leko berjalan di depan. Seharusnya ia menyuruh Leko membawa tali-tali sapi agar tak dapat bergerak bebas seperti itu. Sayangnya, semua sudah terlambat. Pikiran-pikiran itu sudah tak berguna.
Basty yakin jika tidak ada yang membahayakan Leko. Namun, ia amat mencemaskan bocah itu, bahkan kecemasaan itu sudah menjadi-jadi. Ia merasakan angin di sabana bertiup makin kencang. Bunyi dahan-dahan yang patah dari pohon kabesak terdengar jelas.
Perasaan Basty menjadi tak karuan. Basty tahu jika Leko bisa menjaga diri. Tapi, Leko terlalu kecil untuk menghadapi sapi-sapi liar yang bisa saja menyeruduknya dari belakang. Basty juga tahu jika Leko bisa pulang sendiri kalau saja dia tersesat. Basty sudah mengajari Leko untuk mengikuti jalur Kali Noelmina.
Tapi sabana telah sunyi, kicau burung tekukur terdengar beberapa kali. Basty ingat, adiknya itu sangat takut dengan gelap. “Ayo, kita harus mengejar Leko!” seru Basty.
Leko sudah jauh dari kelompoknya. Kini, ia tengah berada di puncak kegirangan sambil berlari seperti anak domba yang baru saja diizinkan induknya untuk mulai merumput di sabana. Sejenak ia menoleh ke belakang untuk memperhatikan kawan-kawannya. “Mereka sangat lambat” katanya. Ia terus melintasi sabana hingga ujung yang tak pernah ia capai dengan kawan-kawannya. Semakin jauh dari kawan-kawannya, semakin banyak pemandangan baru yang didapatinya.
Leko tak paham dengan arah baru yang dilewatinya. Namun, setiap kali ia melewati jarak-demi jarak di sabana yang luas ini, hati kecilnya semakin gembira. Mulutnya tak bosan menyanyikan setiap lagu yang muncul di kepalanya.
Langkah Leko tertahan, tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat kepulan hitam yang menggelembung di angkasa. Ia pun menjadi cemas.
“Jangan sampai terjadi kebakaran” pikirnya. Ia ingat kata bapaknya, setiap penggembala mempunyai kewajiban untuk mencegah sabana dari kebakaran. Oh, tidak. Ternyata kepulan hitam itu bukan karena kebakaran seperti yang dia kira. Itu adalah kepulan debu hitam dari sebuah tempat yang juga baru dilihatnya.