Leko berlari menuju tempat itu. Ia ingin melihat benda-benda yang bergerak aneh dan menimbulkan debu hitam itu dengan lebih jelas. Leko pun tertarik untuk melihat benda-benda itu dari pohon pinus hutan yang menjulur ke tempat itu. Memanjat adalah kegemaran Leko.

Kini, tangan kecilnya mendekap erat sebuah pohon pinus yang memiliki banyak dahan. Seperti kera kecil, dia melompat dengan lincah dari satu dahan ke dahan lainnya.

Tak perlu waktu lama baginya untuk mencapai dahan teratas di pohon itu. Dari atas pohon pinus, luas sabana dapat ditaksir. Jauh ke timur dan ke barat.

Leko mencoba mencari kelompoknya dari atas pohon, tapi mereka sama sekali tak nampak. Benda-benda yang bergerak itu pun kembali mengalihkan perhatiannya. Benda-benda yang bergerak itu adalah ekskavator yang dikemudikan oleh para pekerja pertambangan mangan.

Ekskavator itulah yang membuat Leko terpesona. Ia heran mengapa benda-benda itu dapat bergerak. Ia pun membandingkan benda-benda tersebut dengan oto Babah Liong, Cina kaya di kecamatan yang setiap hari Kamis mendatangi desanya untuk mengangkut ibunya dan perempuan-perempuan lain menuju ke pasar yang berada di kecamatan. Beda pikirnya.

Benda-benda itu sangat besar dan bunyi raungnya memekakkan telinga. Jika angin sedang bertiup kencang, berada di atas pohon di sabana sangatlah berisiko tinggi. Riwayat kematian pun banyak beredar di kalangan penggembala. Oleh karena itu, sebisa mungkin mereka menghindari kegiatan memanjat pohon saat angin sedang kencang.

Bahkan, jika ada sapi-sapi liar yang menyerang mereka saat itu, pilihannya adalah berlari sekuat mungkin atau berusaha mengalihkan perhatian sapi-sapi liar itu dengan meniup peluit panjang.

Tiupan angin yang kencang menggoyangkan pohon pinus yang didekap Leko. Namun, ia tidak menyadarinya. Rasa heran dalam benaknya kini telah berubah menjadi sebuah pengamatan. Ia mengamati orang-orang yang lalu-lalang di tempat itu. Siapa mereka? Apa yang sedang mereka buat? katanya dalam hati. Sepertinya, di antara orang-orang itu tak ada satu pun yang ia kenal. Leko terus mengamati, berharap ada satu saja orang dari desanya. Namun, nihil. Mereka orang baru, pikirnya.

Rasa penasaran Leko pun kian menggebu. Angin semakin bertiup kencang. Sayangnya, Leko masih belum menyadari. Braaaakkk. Dahan pohon pinus yang diinjak Leko patah. Ia jatuh tanpa sempat memegang salah satu dahan pohon pinus itu.

Leko hilang. Basty pun memutuskan untuk pulang mencari bantuan. Basty terpaksa meminjam kuda hitam milik Ba’i Tanu, orang tua yang sebetulnya terkenal tidak baik di antara para penggembala sapi di sabana. Orang tua itu cenderung menjadi penguasa ketika menggembala di sabana karena sapi-sapinya yang paling banyak di antara sapi-sapi warga. Ba’i Tanu bahkan tak menyesali tindakannya mengusir sapi-sapi yang kebetulan minum bersama-sama sapi-sapinya di cekdam.

“Bawa pulang kudaku secepatnya…!” teriak Ba’i Tanu dari belakang begitu Basty melesat dengan kuda hitam itu. Basty belum mahir menunggang kuda. Kuda hitam berlari liar, membawanya ke tengah sabana. Rahasia menunggang kuda yang baik sebenarnya terletak dari kontak batin antara si penunggang dan kudanya. Sayangnya, ia tak memiliki kontak batin itu. Beruntunglah Ba’i Tanu melengkapi kudanya dengan pelana sehingga ia tak perlu menanggung kesakitan oleh tulang punggung kuda hitam yang kerasnya seperti kayu aras. Ia juga bersyukur telah berani menolak untuk di-sifon (sunat-bahasa Dawan) oleh pah (kakek)-nya.

Leko memang keras kepala. Bocah itu tak mewarisi kelembutan ibu dan kesabaran bapak mereka. Leko tak pernah memikirkan risiko dari semua tindakan yang dia lakukan sesuka hati. Selalu saja dia melakukan apa yang menurut kepalanya menyenangkan. Atau mungkin karena dia masih bocah sehingga belum pandai dalam menentukan mana yang baik dan yang buruk. Namun, Basty tetap menyayangi adiknya itu. Perlahan-lahan Basty menguasai laju Kuda hitam itu.

Ia masih ingat jika tadi Leko berjalan ke arah utara. Ditariknya tali kekang ke arah utara, tempat di mana pohon-pohon pinus hutan tumbuh seperti pohon-pohon bambu, rimbun dan gelap. Tiba-tiba kuda hitam itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Basty terjengkang. Susah payah ia menggapai tali kekang yang terlepas dari tangannya. Kuda hitam itu mengentak-entakan kaki-kakinya seperti merajuk. Basty tak mengerti mengapa kuda itu bertingkah aneh. Perasaannya menjadi tak enak. Sesuatu pasti telah terjadi pada adiknya.

***

Bersambung…

Ini merupakan prolog Novel Sabana, Janji Sebuah Permainan Cinta. Novel ini sudah tersedia secara e-book di Google Play Book.

Jika anda tertarik membacanya, silakan hubungi Misel Gual via Facebook Icel Gual