Jakarta – Aturan mengenai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus menuai sorotan dan dikwhatirkan akan menjadi celah korupsi baru. Salah satu fokus utama adalah peruntukan dana Tapera yang dikumpulkan dari iuran para pekerja, baik PNS, karyawan swasta dan pekerja lepas (freelancer).
Pemerhati Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Tadjuddin Noer Effendi, mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana Tapera.
Ia mencontohkan, dengan iuran 3% dari upah minimum Rp3 juta, maka terkumpul dana Rp90.000 per bulan.
“Kalau dikalikan dengan 139 juta angkatan kerja, maka terkumpul dana Rp12 triliun per bulan. Dana sebesar itu harus dikelola dengan baik dan transparan,” ujar Tadjuddin dikutip pada Rabu (29/5).
Kekhawatiran Tadjuddin semakin diperkuat dengan beban yang sudah ditanggung pekerja, seperti iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Pekerja sudah terbebani, jangan sampai dana Tapera ini menjadi celah korupsi baru,” tegasnya.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelunya menganggap wajar apabila masyarakat berhitung mengenai potongan gaji pegawai sebesar 3 persen untuk Tapera.
“Semua dihitung lah. Biasa dalam kebijakan baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat,” kata Jokowi.
Jokowi mencontohkan kebijakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) yang sempat menuai pro dan kontra, namun kini dirasakan manfaatnya.
“Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI, yang gratis 96 juta kan juga ramai. Tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya. Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra,” kata Jokowi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.