Tajukflores.com – Kecintaannya pada laut dan dunia selam membawa Maxi Tjoajadi mengembangkan bisnis kapal pinisi di Labuan Bajo, Flores, Manggarai Barat.
Tahun 2012 lalu, saat pertama kali menginjak Labuan Bajo, ia sudah mulai jatuh cinta dengan keindahan destinasi wisata di ujung barat Pulau Flores itu.
“Wah, kayaknya boleh neh, Komodo, kita invest,” kata Maxi saat menerima Tajukflores.com di kantornya di kawasan Jakarta Selatan belum lama ini.
Maxi Tjoajadi merupakan pemilik kapal Thalassa Pinisi di Labuan Bajo. Selain itu, pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan ini juga bergerak di usaha properti di Jakarta.
Sore itu, Max bercerita panjang lebar kepada kami mengenai bisnis kapal pinisi di Labuan Bajo. Menurut Max, ide awal mengembangkan bisnis kapal pinisi di Labuan Bajo merupakan sebuah proses panjang, tak lepas dari kecintaannya pada laut dan dunia menyelam (diving).
“Sebenarnya sudah lama, kita tidak tiba-tiba (terjun di bisnis kapal pinisi), terutama saya. Saya kebetulan lulusan marine science di Unhas (Universitas Hasanuddin) Makassar tahun 1993. Dari dulu juga saya suka laut,” kata dia.
Lulus dari Unhas tahun 1993, Max pergi ke Jakarta. Meski memiliki pengalaman sebagai asisten dosen di Unhas pada bidang teknologi kelautan (marine science), ia justru masuk ke dunia perbankan di ibu kota.
Setelah 17 tahun bekerja di sebuah bank swasta, ia kemudian memutuskan pensiun dini, lalu bergabung ke sebuah perusahaan batubara. Selama belasan tahun di bank, Max kerap berkunjung ke berbagai destinasi wisata, mulai dari Bali, Manado, Wakatobi, Kendari hingga Raja Ampat, Papua.
Dalam perjalanan, terutama setiap kali berwisata ke Bali, Max mulai melihat peluang bisnis di dunia pariwisata. Tahun 2012, ia mulai tertarik mengunjungi Pulau Komodo. Apalagi mendengar `ramalan` dari rekan-rekan bulenya di Bali jika Pulau Komodo akan menjadi destinasi baru setelah Bali.
“Teman-teman juga di Bali, waktu tahun 2012 itu, semua bilang, habis Bali itu Labuan bajo, bukan Lombok,” ucap Max.
Max semula tak percaya. Tahun itu juga ia berkunjung ke Pulau Komodo untuk menyelam.
“Memang waktu itu airport-nya sederhana sekali, gak kayak sekarang. Barang ditarik manual, jadi benar-benar kita tarik, jalan hancur-hancuran. Karena waktu itu saya bawa alat nyelam sendiri dari Jakarta. Berat!,” kata Max mengenang kunjungan pertama kalinya ke Labuan Bajo tahun 2012.
Diterima dengan kondisi yang demikian, Max kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Komodo. Rasa penasarannya terhadap `ramalan` dari rekan-rekan bulenya itu ingin segera ia buktikan.
“Saya pergi menyelam naik kapal pinisi. Walaupun gak seperti kapal saya sekarang. Kapalnya sederhana,” kata dia.
Setelah menyelam pertama kali tahun 2012, dimana `ramalan` itu ternyata mulai terbukti, setahun kemudian Max kembali ke Pulau Komodo. Dari sana lah ia mulai mengajak teman-temannya untuk berinvestasi di Labuan Bajo. Max mengaku, Labuan Bajo memiliki peluang besar untuk mengembangkan bisnis kapal dan selam.
“Kemudian 2013 saya pergi lagi karena suka. Wah, boleh neh, Komodo. Saya ngobrol-ngobrol sama teman yang suka diving juga. Saya cerita sama teman, wah kayaknya ini beda sama yang lain. Ini kayaknya bagus kita bikin usaha. Bikin dive center sama kapal. Karena di Raja Ampat itu terlalu jauh dari satu tempat ke tempat lain. Spotnya terlalu jauh. Dari Sorong ke Wayak, itu kejauhan,” cerita Max.
Tahun 2014, Max kembali ke Labuan Bajo. Kali ini bukan untuk menyelam, namun membeli tanah di Labuan Bajo. Pilihannya jatuh di lokasi dekat Selat Molo, selat yang memisahkan Pulau Rinca dari Pulau Flores.