“Tahun 2014 saya datang nyari tanah, beli tanah, karena berpikir kita mau bangun resort. Jadi tahun 2014, sebelum pemerintah menentukan bahwa Labuan Bajo jadi destinasi premium, saya sudah masuk,” kata dia.

Meski berhasil mendapatkan bidang tanah di dekat Selat Molo, namun usaha Max membuka resort terkendala perizinan yang panjang. Ia dan rekan-rekannya kemudian tertarik mengembangkan `hotel berjalan` di atas laut alias bisnis kapal pinisi. Hal itu juga muncul setelah melihat banyak wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo mencari kapal ketimbang hotel.

“Di tengah jalan saya berpikir, kita gak boleh bangun hotel, kita beli kapal. Kita bikin hotel berjalan. Bukan hotel di darat,” ucap Max yang juga umat Paroki Bunda Karmel, Tomang, Jakarta Barat ini.

Setelah memantapkan pilihan, Max dan rekan-rekannya mulai membentuk tim dan merekrut karyawan. Saat itu, mereka merekrut seorang warga Belanda yang menikahi warga lokal di Labuan Bajo. Beberapa karyawan lainnya berasal dari Jakarta dan Flores.

“2014 kita sewa rumah di sana, karena kita cari-cari orang mau jual tanah dekat pantai, gak ada yang mau jual. Karena tanah yang saya beli waktu itu di Selat Molo. Agak jauh,” ujarnya.

Setahun kemudian, Max dan rekan-rekannya resmi membangun kantor di Labuan Bajo, tepatnya di Jalan Bidadari, Puskesmas, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat. Untuk memulai usaha, mereka pun membeli sebuah kapal pinisi di Jakarta.

“Kita beli kapal pinisi di Jakarta dari orang Makassar. Dia sering ke Pulau Seribu. Karena dia gak pakai, kita beli. Tapi kita renovasi habis. Yang lain diganti sesuai dengan kebutuhan kita,” kata Max.

Sembari menunggu renovasi kapal selesai, Max dan rekan-rekannya menjalankan bisnis agen perjalan. Mereka menyewa kapal bagi wisatawan di Labuan Bajo.

“Sebenarnya 2015 kita sudah mulai beroperasi, cuma belum punya kapal. Waktu itu, kalau ada yang mau jalan-jalan, diving, kebetulan saya sewa kapal. Jadi kita kayak agen,” katanya.

Tahun 2016, Thalassa Pinisi I selesai direnovasi dan langsung dikirim ke Labuan Bajo. Geliat usaha Max dan rekan-rekannya terus bertumbuh.

Dua tahun kemudian, menyadari animo wisatawan yang mencari kapal pinisi begitu tinggi, mereka pun membeli Thalassa Pinisi II, sebuah kapal pinisi dengan ukuran yang cukup besar.

“Tahun 2018, saya lihat, wah ini animo orang nyari kapal yang lebih banyak. Karena kapasitas kapal yang satu itu hanya 12 orang. Saya lihat di grup, ada yang mau book sampai 20 orang. Akhirnya kita bangun kapal yang lebih besar. Saya beli di Labuan Bajo tapi saya kirim ke Buluk Kumba (Sulawesi Selatan) untuk direnovasi,” katanya.

Setelah direnovasi pada 2019, Thalassa Pinisi II kemudian dikirim ke Labuan Bajo. Di tahun itu pula Covid-19 masuk ke Indonesia dan yang berdampak sangat besar pada sektor pariwisata, tak terkecuali usaha Max dan rekan-rekannya.

“Jadi kapal kita ada dua, ada Thalassa 1 dan Thalassa 2,” kata dia.

Menurut Max, Thalassa Pinisi I berkapasitas 11 wisatawan, sedangkan Thalassa Pinisi II bisa menampung hingga 27 wisatawan. Pun harga sewa kapal ini sangat terjangkau. Untuk Thalassa Pinisi I, dengan paket 3 hari 2 malam, wisatawan cukup merogoh kocek Rp62,1 juta . Sedangkan, untuk Thalassa II, harga sewa untuk paket 3 hari 2 malam sebesar Rp98,8 juta.

Dua kapal phinisi ini membawa wisatawan untuk menikmati sejumlah titik eksotik di Labuan Bajo, seperti Pulau Rinca, Kalong, Pulau Padar, Pink Beach, Pulau Komodo, Karang Makassar, Gili Lawa dan sebagainya.

“Itu juga sebenarnya harga kita tidak murah tidak mahal. Kita ada di middle,” tutup Max.