Jakarta – Nama Dandhy Dwi Laksono, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Dandhy Laksono, menjadi perbincangan publik seiring dengan peluncuran film dokumenter Dirty Vote yang disutradarainya.
Film ini memuat dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 dan menimbulkan banyak kontroversi karena dirilis selama masa tenang.
Diproduksi oleh WatchDoc, film ini menampilkan tiga ahli hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
Para ahli ini menjelaskan dalam filmnya bagaimana berbagai alat kekuasaan digunakan untuk memenangkan pemilu dengan merusak tatanan demokrasi.
Dandhy menyatakan bahwa salah satu hal yang membuatnya tertarik untuk membuat film Dirty Vote adalah situasi yang terjadi menjelang Pemilu 2024.
“Iya, aku tertarik dengan beberapa informasi tentang kasus kecurangan Pemilu yang tersebar di media sosial. Saya juga tertarik dengan beberapa podcast dari Bang Feri Amsari yang sedang mengerjakan proyek tentang peta kecurangan Pemilu,” kata Dandhy Laksono pada Senin (12/2), seperti dikutip CNN Indonesia.
“Saya melihat beberapa temuan dan buktinya. Saya belum berhubungan sama sekali, saya masih mengamati bagaimana cerita-cerita tentang kecurangan ini. Apakah ada hubungannya satu sama lain atau hanya kebetulan?” lanjutnya.
Salah satu yang menjadi sorotan dan diungkapkan dalam dokumenter itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres).
MK mengabulkan gugatan terkait syarat pendaftaran capres-cawapres yang harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dengan putusan tersebut, MK membuat syarat pendaftaran sebagai capres-cawapres dapat dipenuhi jika yang bersangkutan pernah dan sedang menjabat di posisi yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, meskipun belum mencapai batas usia minimal 40 tahun.
Putusan ini kemudian menjadi dasar bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 36 tahun, untuk maju sebagai cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto.
Sexy Killers
Namun, film dokumenter ini bukan kali pertama Dandhy Laksono membuat film. Pada tahun 2019, ia juga merilis film dokumenter berjudul Sexy Killers.
Film berdurasi 1,5 jam ini menggambarkan proses penambangan batu bara di Kalimantan yang kemudian dibakar di PLTU untuk menghasilkan listrik, dengan dampak buruk pada lingkungan dan kesehatan.
Dalam Sexy Killers, Dandhy Laksono bersama sahabatnya, Ucok Suparta, mengungkap bagaimana industri batu bara berdampak negatif pada masyarakat, khususnya nelayan dan petani.
Film ini diunggah ke YouTube pada 14 April 2019, tiga hari sebelum pemungutan suara Pilpres, dan telah ditonton lebih dari 17 juta kali. Namun, beberapa lokasi melarang pemutaran film ini karena dianggap mendorong golput.
Dandhy Laksono kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya dan ditangkap atas filmnya tersebut.
Ia dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan SARA.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.