Jakarta – Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang didakwa dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong, akhirnya berakhir dengan vonis bebas.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan bahwa kedua terdakwa yakni Fatia dan Haris Azhar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Keputusan Bersama tiga lembaga yakni Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa kata “lord” yang diucapkan Haris Azhar dalam podcastnya tidak masuk ke dalam unsur pencemaran nama baik.
Begitupun yang diucapkan oleh Fatia dalam video podcastnya, yakni kata “jadi penjahat juga kita”, menurut majelis perkataan tersebut tidak menuju kepada Luhut Binsar Pandjaitan sehingga juga tidak dapat diklasifikasikan kepada penghinaan.
Sementara untuk kalimat “bisa dibilang bermain tambang yang terjadi di Papua hari ini” yang diucapkan Fatia, hakim menilai bahwa hal tersebut terbukti dan tidak dapat diingkari, sebab PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang sahamnya dimiliki 99 persen oleh Luhut Binsar Pandjaitan, memiliki keterkaitan pada penjajakan bisnis di Papua.
Hakim menambahkan bahwa unsur-unsur pasal tidak terbukti menurut hukum, terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana diatur pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik atau dalam dakwaan pertama.
Lebih lanjut, hakim turut membacakan pasal dakwaan lainnya yakni Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang pemberitahuan bohong.
Dalam pasal ini pun, pertimbangan hakim menyatakan bahwa PT Toba sebagai Beneficiary Owner (BO) terlihat dari korespondensi antara Paulus Prananto dengan PT MQ dan West Wits Mining untuk darewo project. Sehingga, yang diucapkan oleh Fatia dan Haris yang mana didasari pada hasil riset koalisi masyarakat sipil bukan merupakan berita bohong.
Lebih lanjut, hakim pun menilai bahwa judul podcast “Ada Lord Luhut di Balik Operarsi Militer di Papua” juga bukan merupakan pemberitaan bohong sehingga dakwaan primair kedua tidak terpenuhi.
Selain itu, perihal Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya berkaitan dengan keonaran, dalam dakwaan kedua subsidair, merujuk pada publikasi yang dilakukan australia stock exchange, terbukti bahwa telah ada penjajakan bisnis antara PT TDM dan West Wits Mining.
Adapun PT TDM sebagai anak dari PT toba sejahtera sehingga Luhut Binsar Pandjaitan memperoleh manfaat karena mendapatkan laporan keuangan secara berkala. Dalam penjabaran ini, Pasal ini juga tidak terpenuhi.
Begitupun Pasal 311 KUHP sebagai dakwaan ketiga dalam perkara ini, majelis hakim dalam putusannya pun menjabarkan unsur-unsur yang ada.
Sama seperti pasal-pasal lainnya, hakim menyatakan bahwa yang dilakukan Fatia dan Haris bukanlah melanggar kehormatan dan nama baik, melainkan sebuah kenyataan sehingga delik pada unsur pasal ini tidak terpenuhi.
Dalam kesimpulannya, hakim membacakan bahwa seluruh unsur tidak terpenuhi baik dari dakwaan primair, dakwaan kedua primair, dakwaan kedua subsidair, hingga dakwaan ketiga.
Putusan bebas ini disambut baik oleh para pendukung Fatia dan Haris. Ratusan orang dari berbagai kelompok masyarakat menggelar aksi dukungan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Menang!” teriak massa saat mendengar putusan bebas untuk Fatia dan Haris.
Fatia dan Haris Azhar pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung mereka.
“Terima kasih kepada semuanya yang telah mendukung kami,” ungkap Haris Azhar.
“Tujuan awal podcast ini adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran HAM,” tambah Fatia Maulidiyanti.
Putusan bebas ini menjadi angin segar bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Putusan ini menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat harus dilindungi, bahkan jika pendapat tersebut bersifat kritis terhadap pemerintah.
Reaksi Tim Advokasi untuk Demokrasi
Muhammad Isnur dari Tim Advokasi untuk Demokrasi menuturkan bahwa putusan ini memberikan pesan bahwa setiap pihak harus dan terus mengkritik, berbicara dan menyampaikan pendapat.
“Apa yang disampaikan hakim adalah kebenaran, karena menyebut demokrasi dan kebebasan berekspresi. Putusan ini menyampaikan pesan bahwa jangan takut dan jangan berhenti. Tujuan awal podcast ini adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran ham,” tambah Muhammad Isnur.
 “Apa yang dibacakan majelis hakim dalam putusannya mengakui bahwa riset dari koalisi masyarakat sipil adalah benar dan harus diakui sebagai sebuah fakta. Riset tersebut menyatakan bahwa terdapat conflict of interest dari LBP. Maka, ketika ingin hukum setara, polisi harus mengusut jejak bisnis pertambangn yang dilakukan oleh perusahaan Luhut,” tambah Arif Maulana yang juga dari Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.