Tajukflores.com – Tulisan Denny JA yang beredar di media sosial, berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”, memicu berbagai tanggapan pakar. Tulisan ini merupakan salah satu tanggapan dengan melihat ke latar belakang berdirinya Republik Indonesia.
Kata Indonesia, berasal dari bahasa Yunani indus dan nesos, menunjuk pada letak geografis, yaitu kepulauan di lautan India. Artinya, kata Indonesia awal mulanya tidak menunjuk sebuah bangsa.
Berbeda, misalnya, bangsa Turki yang kemudian mendirikan negara Republik Turki. Atau bangsa Persia mendirikan negara Persia yang sekarang bernama Iran.
Kedua bangsa ini homogen, terdapat korelasi antara nama bangsa dan negaranya. Begitu pun bangsa Korea, memiliki negara Korea. Yang demikian itu tidak berlaku bagi bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sebagai entitas negara, Republik Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945. Tetapi sebagai sebuah bangsa, benarkah yang namanya bangsa Indonesia sudah terbentuk secara solid sejak awal?
Pada 28 Oktober 1928, para pemuda yang mewakili berbagai suku di Nusantara ini mengikrarkan Sumpah Pemuda. Mereka sepakat memiliki dan membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Jadi, waktu itu yang namanya bangsa Indonesia merupakan perjuangan politik di masa depan, untuk menampung dan menyatukan sekian banyak etnis di Indonesia dalam satu rumah bangsa.
Sadar sejak awal bahwa Indonesia disangga oleh berbagai suku, maka disepakati sebuah motto: Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan kata lain, sekalipun negara Indonesia sudah berdiri, namun sesungguhnya kebangsaan Indonesia itu bersifat dinamis-evolutif, berproses menjadi bangsa Indonesia.
Tentu ini sebuah kesadaran dan proyek politik baru bagi kalangan generasi orangtua kita, yang waktu itu masih kental merasa sebagai putra daerah, bukan putra Indonesia.
Proses ini juga terjadi dalam pembangunan bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia, mengalahkan bahasa Jawa yang digunakan mayoritas penduduk Nusantara.
Generasi Hibrida
Mobilitas pendidikan dan kerja warga Indonesia telah mendorong perjumpaan lintas putra-putra daerah yang berlanjut pada perkawinan silang lintas etnis. Kampus-kampus unggulan di Indonesia telah memfasilitasi perkenalan mereka, bermula dari pertemanan kuliah lalu berlanjut menjadi pasangan suami-isteri. Perjumpaan ini juga terjadi di wilayah kerja perkantoran dan perusahaan.
Dari pasangan ini pada urutannya melahirkan generasi hibrida, produk dari cross etnical marriage, yang semakin mengindonesia. Bagi mereka ikatan etnisnya semakin kendor. Termasuk pemahaman bahasa daerahnya juga lemah.
Perkembangan ini tentu mengandung plus-minus. Sisi negatifnya, generasi milenial ini semakin dangkal pemahamannya akan tradisi lokal. Padahal banyak sekali wisdom yang terkandung dalam bahasa dan budaya lokal. Positifnya, kohesi keindonesiannya diharapkan semakin solid.
Catatan kecil namun menarik, pernikahan lintas etnis ini semakin banyak, namun tidak demikian halnya dengan pernikahan beda agama. Masyarakat Indonesia masih kuat berpandangan bahwa nikah beda iman itu menyalahi ajaran agamanya dan secara sosial-psikologis pernikahan beda agama dikhawatirkan akan menimbulkan masalah di belakang hari.
Agama dan Negara
Meskipun sama-sama berpenduduk mayoritas Muslim, antara Indonesia dan negara-negara Arab memiliki perbedaan mendasar secara politis dalam proses kelahirannya. Umat Islam Indonesia memiliki andil sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Sederet pahlawan yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah adalah Muslim, baik mereka yang diketahui namanya maupun yang tidak.
Gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan dari bawah ini sesungguhnya juga sebuah proses membangun tradisi berdemokrasi bagi umat Islam Indonesia.
Rakyat sudah punya pengalaman panjang membangun kekuatan sendiri tanpa bantuan negara. Bahkan mereka justru berpikir dan berjuang mendirikan Negara, baik melalui pertempuran maupun diplomasi.
Meskipun pemeluk agama mayoritas, kerjasama dengan tokoh dan kelompok non-muslim juga sudah tertanam kuat dalam masyarakat. Kohesi sosial ini diperkuat oleh ikatan suku atau marga, sehingga di berbagai wilayah Indonesia keragaman iman bisa hidup rukun.
Dengan demikian, tidak aneh bagi masyarakat Indonesia mengapa Islam dan demokrasi bisa berkembang bareng, bisa saling mengisi, karena umat Islam sudah terbiasa berserikat secara mandiri. Membangun pusat-pusat pendidikan secara mandiri, seperti sekolah dan pondok pesantren.
Kekuatan masyarakat Islam yang terhimpun dalam organisasi Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926) berkembang secara mandiri. Keduanya melahirkan banyak pejuang kemerdekaan.
Adapun kemunculan dan kemerdekaan negara-negara Arab sangatlah berbeda. Mereka merdeka dari kekuasaan imperium Utsmani, setelah Utsmani dikalahkan kekuatan Sekutu Barat. Bahkan kekuatan Sekutu ikut menggerogoti kekuatan Utsmani dengan menghembuskan janji untuk memerdekakan bangsa-bangsa Arab.
Akhirnya, kejatuhan Utsmani dalam Perang Dunia II sekaligus menandai masuknya kekuatan Sekutu untuk menguasai negara-negara baru di Arab, di bawah kesultanan lokal.
Masyarakat Arab tidak memiliki tradisi pergerakan sosial politik yang digerakkan dari bawah sebagaimana di Indonesia. Mereka hidup di bawah kekuasaan sultan atau raja. Sampai hari ini, demokrasi di Arab tidak memiliki lahan yang subur.
Ironisnya beberapa negara yang secara formal menerapkan sistem republik, negaranya kacau dan pemerintahannya represif. Cerita demokrasi di dunia Arab jauh dari gambaran dan cita-cita ideal demokrasi.
Komparasi singkat di atas hanya untuk menunjukkan bahwa hubungan Islam dan negara serta bentuk pemerintahan masyarakat Muslim itu beragam. Ada yang menerapkan sistem kesultanan, keamiran, republik, dan kerajaan yang kebanyakan merupakan negara suku (tribe). Seperti, Arab Saudi, yaitu negara yang dikuasai keluarga Ibnu Saud. Tak ada sistem tunggal.
Lebih dari itu, masyarakat Timur Tengah yang tinggal di satu daratan, satu bahasa, dan satu agama, tak henti-hentinya terlibat konflik dan perang. Sejarah panjang bangsa-bangsa Arab diwarnai dengan perang dan penaklukan.
Tentu saja, yang demikian itu juga pernah dilakukan negara-negara Eropa, namun mereka sudah bergerak ke arah jalan diplomasi dan kerjasama, ingin menyudahi peperangan. Beruntunglah, masyarakat Indonesia yang majemuk dan tinggal di negara kepulauan malah bersatu.
Identitas Keagamaan
Terbukanya ruang demokrasi yang semakin lebar dan bebas, telah mendongkrak penguatan identitas kelompok masyarakat, baik berdasarkan etnis maupun agama. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan hal yang logis saja mengingat kondisi obyektif masyarakat kita memang sangat majemuk.
Namun kemunculan identitas suku dan agama menghangat ketika dikaitkan dengan penggalangan massa untuk kepentingan politik guna memenangkan pilkada atau pemilu.
Dengan kata lain, terjadi konvergensi antara agenda politik dan semangat keagamaan. Hal ini tentunya tidak asing bagi bangsa Indonesia terutama ketika masa perjuangan kemerdekaan.
Namun, setelah merdeka dan kita sepakat membangun Indonesia sebagai rumah bersama, jangan sampai komitmen identitas etnis dan agama akan memperlemah kohesi nasional.
Kekayaan suku dan keragaman agama hendaknya menjadi aset dan pilar bernegara, mengingat pengikat keindonesiaan kita adalah nilai-nilai luhur, seperti yang tertera dalam Pancasila. Dengan demikian Indonesia mungkin lebih tepat disebut sebagai civic nation. Agama diturunkan sebagai sumber dan pilar peradaban.
Agama adalah penebar rahmat dan perdamaian. Semua agama pada mulanya selalu menjadi pembela orang yang teraniaya dan terpinggirkan. Makanya ketika agama malah menimbulkan konflik dan perpecahan berarti terjadi anomali dan deviasi fungsi utama agama.
Bahwa dalam sejarahnya agama pernah dan sering terlibat perang, itu sebuah kenyataan sejarah. Bisa saja peperangan itu dimaksudkan untuk membela diri karena serangan pihak-pihak yang merasa terancam, yang ingin membunuh benih agama baru. Atau, bisa juga ketika agama dijadikan alat politik untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan.
Yang pasti di Indonesia akhir-akhir ini semangat beragama kian menonjol, yang diekspresikan dalam simbol pakaian dan jamaah-jamaah pengajian, serta ormas yang mengusung simbol dan sentimen agama. Di medsos pun bertaburan posting khotbah keagamaan. Lagi-lagi masalah sosial muncul ketika agama dijadikan instrumen politik, sehingga eksesnya khotbah agama bukannya memperkuat persatuan dan kedamaian bangsa, tetapi malah memecah persaudaraan karena agama disubordinasi untuk kepentingan politik jangka pendek.
Negara Bersyariah
Lalu, apakah negara dan pemerintahan Indonesia pro-syariah atau anti-syari`ah? Dalam pengertian generik, syariah adalah jalan atau ajaran Tuhan yang mendekatkan pada keselamatan, kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat bagi individu dan masyarakat.
Syariah diturunkan oleh Allah pada manusia melalui perantaraan Rasul-Nya semata-mata karena kasih sayang-Nya.
Menurut Al-Qur`an, misi agama atau syariah adalah penebar damai, rahmat dan nikmat.
Pengertian syariah yang sedemikian luas dan mendasar ini oleh beberapa ulama dipersempit jadi panduan hukum, berupa formula yang berisi himpunan perintah dan larangan yang disajikan oleh ilmu fiqih. Itu tidak salah, tetapi telah mereduksi pengertian syariah. Dari yang luas menjadi sempit, dari yang inklusif menjadi eksklusif.
Secara substansial dan kultural, sekalipun Indonesia berdasarkan Pancasila, sesungguhnya banyak sekali nilai dan pesan syariah Islam yang dijaga dan dilakukan oleh negara.
Jika dicermati, Pancasila mengandung elemen dan spirit teokrasi yang tercermin dalam sila ketuhanan, elemen liberalisme yang tercermin dalam sila kemanusiaan, dan sila sosialisme yang tercermin dalam sila mufakat gotong royong. Ini merupakan sintesis dari ideologi besar dunia. Jika berhasil, akan menjadi kontribusi Indonesia pada dunia.
Kelima sila itu bermula dari spirit kebertuhanan, bermuara pada agenda penegakan prinsip keadilan guna menyejahterakan rakyat. Sebuah filosofi dan ideologi yang sangat mulia, sejalan dengan syariat Islam.
Indonesia adalah negara berketuhanan yang maha esa, sementara umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas memperoleh perlindungan politik dan fasilitas finansial yang paling besar dalam mengamalkan agamanya.
Kementerian Agama, misalnya, memperoleh anggaran dari negara sekitar Rp 60 triliun per tahun, untuk mengemban tugasnya menjaga kerukunan dan pendidikan agama bagi warganya.
Hari libur nasional keagamaan juga terbanyak di dunia. Belum lagi nilai dan aspirasi agama yang masuk dalam hukum positif dan kebijakan pemerintah.
Oleh karenanya, negara dan pemerintah Indonesia ini sangat kental perhatiannya pada syariah agama. Jika dihitung, keuangan negara untuk membantu kegiatan keagamaan di atas Rp 60 triliun, karena di luar Kementerian Agama juga banyak aktivitas keislaman yang difasilitasi negara.
Salah satu yang unik di Indonesia adalah tradisi keislaman telah masuk ke lingkungan pusat negara dan telah mentradisi, seperti peringatan hari-hari besar Islam yang diselenggarakan di Istana Negara.
Negara ikut mengurusi ibadah haji, administrasi pernikahan, pengelolaan zakat, dan sekian ratus lembaga pendidikan Islam yang berstatus negeri, sejak dari tingkat dasar sampai universitas.
Sekarang tengah dibangun kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang berstatus negeri. Semua ini menunjukkan betapa telah terjadi konvergensi antara acara keagamaan dan agenda negara.
Di berbagai kantor pemerintah dan BUMN disediakan fasilitas ibadah dan kegiatan ceramah keagamaan secara bebas. Ketika Idul Fitri tiba dan masyarakat urban ingin pulang mudik, negara juga memfasilitasi mobilitas mereka, baik dari aspek keamanan maupun perbaikan infrastruktur.
Ini semua menunjukkan satu hal bahwa di Indonesia umat beragama bebas melaksanakan syariah agama, bahkan negara memfasilitasi.
Bahkan mereka yang ingin mendirikan partai politik berciri agama pun diperbolehkan. Fenomena menarik adalah bagaimana umat Islam Indonesia memperingati malam tahun baru (Masehi), yang awalnya adalah tradisi Kristiani lalu diisi dengan dzikir nasional.
Ini sebuah Islamisasi kultural-simbolik yang mungkin hanya terjadi di Indonesia. Islamisasi di ranah kultural ini terjadi di berbagai bidang sosial dan sudah berlangsung lama, bahkan sejak Islam masuk ke wilayah Nusantara.
Secara substansial, lembaga negara semacam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu sangatlah sejalan dengan syariah, mengingat Islam sangat antikorupsi. Para ulama sebatas memberi nasehat atau fatwa haramnya korupsi, tetapi tidak memiliki kemampuan mengeksekusi pemberantasan korupsi tanpa instrumen negara.
Demikian juga, lembaga negara lainnya banyak sekali yang sejalan dan mengemban nilai-nilai syariah tanpa harus menyebutkannya secara eksplisit, karena kita sudah sepakat sejak awal bahwa masyarakat kita majemuk, Bhinneka Tunggal Ika, dalam sebuah sistem pemerintahan republik.
Jadi, masyarakat Islam di Indonesia memiliki iklim kebebasan berserikat dan menyampaikan aspirasinya, serta melaksanakan syariah di bawah payung demokrasi. Ini suatu kenyataan yang tidak dilakukan di negara-negara Arab yang juga mayoritas rakyatnya Muslim.
NKRI Bersyariah?
Sejak ditetapkan sebagai negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negara, maka semua hukum yang berlaku adalah produk lembaga Dewan Perwakilan Rakyat berupa hukum positif. Meski begitu, bisa saja sumbernya dari kitab suci, entah Al-Qur`an atau kitab suci lain.
Sebagai orang beriman, dalam beragama patokannya adalah kitab suci. Tetapi sebagai warga negara semuanya mesti kembali pada konstitusi dan hukum positif. Makanya mengganti sistem kenegaraan, misalnya, dengan sistim “kekhalifahan” atau “negara Islam” berarti merobohkan bangunan NKRI yang diperjuangkan dan diwariskan para pendiri bangsa.
Nilai dan semangat syariah Islam saat ini sesungguhnya sudah dilaksanakan tidak hanya dalam ranah masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.
Namun, yang diutamakan adalah substansinya sehingga ajaran Islam lebih inklusif, tidak menciptakan sekat, sehingga lebih mudah diterima oleh semuanya. Adapun dalam wilayah pribadi dan komunal, setiap pribadi bebas melaksanakan syariah agamanya dengan tetap menjaga etika sosial dan ketentuan UU kenegaraan.
Umat Islam Indonesia mestinya malu melihat negara dan masyarakat lain yang sedikit bicara agama secara legal-verbal, namun justru mereka lebih Islami dalam menerapkan etika publik yang mudah diukur. Misalnya, dalam hal tingkat korupsinya, kebersihannya, kesehatannya, kesejahteraannya, dan penghargaannya pada hak-hak individu sebagai warga negara, mereka jauh lebih baik dari masyarakat Indonesia yang sangat bersemangat mengkhotbahkan agama.
Jadi, memperjuangkan NKRI bersyariah itu hanya akan membuang-buang energi dan menciptakan disintegrasi bangsa. Tetapi, jika sebatas wacana dan intellectual exercise, silakan saja.
Catatan:
Komaruddin Hidayat adalah Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk masa jabatan dua periode, 2006-2010 dan 2010-2015. Sekarang sebagai guru besar filsafat pada Fakultas Psikologi pada universitas yang sama. Saat ini juga sebagai Ketua Panitia Harian pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa, serta menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.