Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang menyatakan haram pembelian produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel terhadap Palestina. Meskipun fatwa ini tidak secara eksplisit merinci daftar produk atau perusahaan, gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) Palestina merilis daftar perusahaan yang berafiliasi dengan Israel, menciptakan panduan bagi masyarakat di seluruh dunia untuk boikot produk Israel.

BDS telah mencatat sejumlah perusahaan yang menjadi sasaran boikot, termasuk PUMA, Hewlett Packard, AXA, McDonald’s, Starbucks, KFC, Pepsi, Coca-Cola, Danone, Nestle, Unilever, hingga perusahaan hiburan seperti Netflix dan Walt Disney. Boikot, yang dimulai pada 10 Oktober, telah berdampak pada harga saham beberapa perusahaan tersebut.

PepsiCo, sebagai contoh, mengalami penurunan harga saham hingga mencapai titik terendah sejak November 2021, yaitu di level US$157,9 per lembar. Demikian pula, Walt Disney mengalami fluktuasi harga sejak dimulainya boikot, dengan penutupan pada harga US$245,5 per lembar pada akhir perdagangan Rabu, 1 November 2023.

Seruan Boikot di Indonesia

Seruan untuk memboikot produk-produk tersebut telah menyebar ke Indonesia, menciptakan tagar populer seperti #BDSMovement di media sosial X (Twitter) dan TikTok.

Baca Juga:  Kenaikan Harga Tiket Pesawat Jelang Lebaran Kembali Menjadi Sorotan

Warganet juga secara aktif menyerukan boikot terhadap produk-produk seperti McD, Starbucks (PT MAP Boga Adiperkasa), Philips Morris (HM Sampoerna), Unilever Indonesia, dan Coca-Cola (PT Graha Prima Mentari Tbk).

Meskipun seruan ini mendapat perhatian, pengamat pasar modal, Reza Priyambada, berpendapat bahwa dampaknya terhadap pasar modal Indonesia dan saham perusahaan yang diboikot di tanah air tidak akan terlalu signifikan.

Menurutnya, kinerja saham perusahaan-perusahaan seperti PT MAP Boga Adiperkasa Tbk. (MAPB), PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR), PT HM Sampoerna Tbk. (HMPS), dan PT Graha Prima Mentari Tbk. (GRPM) lebih dipengaruhi oleh sentimen di pasar dalam negeri daripada di tingkat global.

“Di Indonesia memang sudah mulai ada seruan untuk memboikot produk yang berhubungan sama Israel atau yang mendukung Israel. Tapi suaranya tidak banyak. Gerai-gerai McD, Starbucks masih buka. Orang juga masih tetap beli produknya Unilever,” jelasnya, mengutip Alinea.id.

Yusuf Wibisono, akademisi dan peneliti ekonomi dari FEB Universitas Indonesia, menganggap bahwa boikot terhadap produk Israel terbenarkan. Selama lebih dari tujuh dekade, Israel terus menunjukkan kebijakan apartheidnya terhadap Palestina.

Baca Juga:  Rahasia Prajogo Pangestu Jadi Orang Terkaya Nomor 1 di Indonesia

Seruan boikot bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi menjadi fenomena global. Yusuf menyatakan bahwa dampak boikot ke Israel sangat bergantung pada keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Semakin banyak konsumen yang berpartisipasi, terutama dalam skala global, akan semakin besar pengaruh gerakan boikot.

Boikot: Keputusan Konsumen

Menurut Yusuf, partisipasi konsumen dalam gerakan boikot ditentukan oleh dua hal utama, yakni persepsi publik akan probabilitas keberhasilan boikot dan biaya yang akan ditanggung konsumen akibat boikot.

Yusuf menjelaskan bahwa mekanisme boikot menjadi dilema yang dihadapi negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot.

“Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan. Pihak yang diboikot akan mengalami tekanan untuk menghentikan dukungannya kepada Israel seiring melemahnya kinerja finansial mereka,” ungkap Yusuf.

Yusuf menambahkan bahwa kasus boikot terbaik adalah boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi dunia terhadap Afrika Selatan, termasuk boikot produk ekspor, embargo minyak, dan divestasi investasi asing, membawa pada berakhirnya rezim apartheid pada tahun 1990.