Dia menegaskan, dengan penerapaan kuota, maka hanya pelaku usaha tertentu yang akan mendapatkan kuota. Sementara, pelaku usaha wisata lainya berpotensi full kuota.

“Yang akan menyebabkan diskriminasi ekonomi masyarakat dan berpotensi terjadinya kecurangan di dalam registrasi jumlah kuota wisatawan. Oleh sebab itu Formapp menolak dengan keras penggunaan standar kuota di dalam memasuki Taman Nasional Komodo,” ucap dia.

Dia menambahkan, sistem pembayaran Rp15 juta per empat orang per tahun merupakan bentuk dominasi kapitalis di dalam manajemen pengolahan Taman Nasional Komodo.

Baca Juga:  Diduga Aniaya Manager Restoran di Labuan Bajo, Begini Klarifikasi BKH

“Sungguh perhitungan tersebut merugikan para pengunjung, pelaku usaha dan pasar pariwisata. Perhitungan tersebut syarat dengan asupan kepentingan ekonomi bisnis tanpa mempertimbangkan hak-masyarakat untuk menikmati pemandangan indah Pulau Komodo yang berwawasan universal bagi umat manusia dan seluruh lapisan masyarakat. Hentikan wacana yang tidak bermoral sosial tersebut,” tegas Rafael.

Rafael juga menilai klaim KLHK yang menyebut sebanyak Rp11 trililiun nilai jasa konservasi hilang akibat kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo sebagai sebuah pernyaan hoaks. Sebab, kata Rafael, pada kenyataanya bukan wisatawan yang merusak Taman Nasional Komodo oleh aktivitas wisata, namun sebaliknya pemerintah sendiri yang menghancurkan ekosistem Pulau Rinca dengan mendirikan Jurasik Park bernilai triliunan.

Baca Juga:  Viral, Murid Laki-laki Permalukan Guru Perempuan Sambil Joget

“Penghancuran ekosistem tersebut tentu masif, tersistem dan terencana yang membuat Pulau Rinca masih ditutup sampai hari ini dampak dari pembangunan tersebut. Dan hari ini pemerintah kembali menyalahkan wisatawan bahwa kerusakan itu bernilai Rp11 triliun oleh aktivitas wisatawan. Tentu saja hal tersebut hoaks dan sangat menyesatkan nalar publik,” pungkas dia.