Menurut Bagja, kemungkinan pemilih melakukan pencoblosan lebih dari sekali disebabkan oleh kurangnya pemahaman dari petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di TPS.

“Dulu mungkin boleh ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang tidak boleh, jadi yang dilakukan adalah mencantumkan dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Namun, dengan catatan KTP elektroniknya adalah wilayah tempat TPS tersebut berada, bukan dari wilayah lain. Masalah muncul jika KTP tersebut berasal dari wilayah atau provinsi lain,” jelas Ketua Bawaslu.

Bagja menambahkan bahwa kejadian ini harus menjadi bahan evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar petugas KPPS dapat menjalankan aturan yang telah ditetapkan.

“Oleh karena itu, pelatihan bagi petugas KPPS harus ditingkatkan. Ini merupakan kritik bagi KPU dan kita semua, termasuk pengawas, untuk memastikan bahwa sesuai dengan peraturan, apa yang tidak boleh dilakukan harus dihindari,” tegasnya.