Payung hitam dan awan gelap mengintari Istana Merdeka pada Kamis (16/1) sore. Meski hujan hanya menggeretak sesaat, puluhan pria dan wanita berbusana serba hitam terus berteriak di depan kantor Presiden Joko Widodo itu.
“Hidup korban, jangan diam, lawan!” teriak mereka dalam sebuah yel-yel.
Yel-yel itu sudah bergema selama 13 tahun. Terhitung 618 kalinya mereka berteriak hal yang sama di acara Kamisan, sebuah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka menggelar spanduk, memajang foto korban, dan membagikan selebaran untuk para pengguna jalan.
“Tak satupun yang didengar Jokowi,” teriak Koordinator KontraS Yeti Andriyani dari sebuah microphone, saat membuka testimoninya terkait Kamisan sore itu.
Meski sudah menjadi rutinitas, acara Kamisan cukup ramai. Testimoni terkait Kamisan diselingi lagu bertema HAM yang dibawakan band Summer Rain dan Tahsoora. Di antara mereka, musisi sekaligus aktivis Melanie Soebono juga hadir. Ia meluangkan waktu untuk Kamisan sore itu di sela-sela persiapannya sebagai pembicara di acara konferensi PBB untuk anak muda di Jimbaran, Bali, Sabtu (18/1).
Melanie merupakan salah satu musisi yang vokal menyuarakan isu-isu HAM lewat lirik lagu. Tak cuma lagu, Melanie bahkan terlibat langsung dalam aksi unjuk rasa. Ia terlibat saat aksi gelombang unjuk rasa “Reformasi Dikorupsi” untuk menyuarakan penolakan atas pengesahan revisi UU KPK dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP di gedung DPR/MPR 2019 lalu.
Keterlibatan Melanie di seputar isu HAM sudah berlangsung sejak lama. Ia juga kerap menyuarakan isu-isu HAM melalui akun media sosialnya, baik Twitter maupun Instagram dengan pengikut berjumlah ribuan. Setiap Rabu malam, ia ikut rapat membahas aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.
“Ini sebuah rangkaian panjang. Selama perjalanan Kamisan, gerakan menolak lupa, kemudian munculah RUU yang konyol itu,” kata Melanie saat berbicang di kawasan Kalideres, Jakarta Barat, Jumat (17/1).
Ia mengaku memiliki alasan-alasan khusus kenapa terlibat dalam unjuk rasa. “Ini bukan masalah tertarik. Ini masalah nasib hidup gua, iya dong. Makanya cukup aneh justru kalau bilang kenapa lu peduli. Lah, ini nasib hidup lo (juga), lo mau agama lu diatur, lu mau kamar tidur lu diatur, koruptor bebas?” ujarnya.
Kekuatan media sosial
Unjuk rasa di sekitar gedung DPR/MPR diikuti mahasiswa dari berbagai kampus di DKI Jakarta. Aksi yang sama terjadi di sejumlah provinsi. Pergerakan mahasiswa ini tak lepas dari aksi sebelumnya di Yogyakarta. Melalui gerakan #GejayanMemanggil yang trending di Twitter, mahasiswa kemudian melakukan aksi serempak. Muncul kemudian tagar serupa yakni #ReformasiDikorupsi.
“Hubungan antar anak muda bertahun-tahun lewat medsos, lewat gerakan, udah follow satu sama lain, udah mulai panggil satu sama lain. Ya mendadak itu menjadi gerakan yang masif di tiap kota akhirnya,” ujarnya.
Menurut Melanie, fenomena parlemen jalanan ini bukan muncul begitu saja. Ada kesadaran yang terbangun di kalangan anak muda. Berbeda dengan gerakan 98 yang didahului dengan rapat, unjuk rasa #ReformasiDikorupsi tak lepas dari pengruh media sosial.
“Ada satu penguatan di tengah-tengah generasi yang kita pikir hopeless, generasi Lambe Turah yang ngertinya cuma Korea. Tapi ternyata ada loh, sampai STM turun. Apa pun namanya tapi ada rasa keberasamaan, yang tiba-tiba muncul. Itu organik, bukan diatur,” jelasnya.
Melanie mengaku tak sepenuhnya terlibat dalam aksi unjuk rasa menolak RUU KPK dan RUU KUHP. Saat unjuk rasa berlangsung, ia sebenarnya tengah dalam situasi duka. Eyangnya, mantan Presiden BJ Habibie meninggal satu bulan sebelumnya. Ia pun memantau pergerakan melaui media sosialnya, baik Twitter maupun Instagram.
“Gue juga sibuk tahlilan eyang. Tapi tetap monitor, kalau jaringan mati, pakai VPN. Infoin gitu. kalau kalian kemana-mana, share loc sama teman,” tuturnya.
Namun demikian, perjuangan Melanie bukan tanpa resiko. Selain kerap mendapat ancaman, pekerjaannya sebagai musisi juga mendapat imbas. Beberapa kali kontrak kerjanya dibatalkan.
“Banyak sekali prodak yang tidak mau kerja sama gue. Gue sekarang susah sekali live di TV. Bahkan sebagai musisi, kalau manggung, syaratnya panjang banget,” katanya.
Menurut Melanie, sebagai musisi yang memiliki ribuan pengikut di media sosial, ia merasa bersalah jika tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Baginya, kebebasan yang direguk generasi sekarang tak lepas dari perjuangan aktivis semisal Marsinah di jaman Pemerintahan Orde Baru, atau Widji Thukul hingga Munir.
“Dan hari ini yang kita lakukan, selain menghargai apa yang sudah lakukan dulu, ini nanti bagi generasi nanti,” jelasnya.
Band asal Yogyakarta, Tahsoora. Foto: Tajukflores.com
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab mengatakan keterlibatan publik figur seperti para musisi dan seniman dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan merupakan suatu hal yang positif. Menurut Amiruddin, pengaruh mereka yang kuat di tengah masyarakat akan berdampak terhadap isu-isu HAM.
“Setiap warga negara RI, siapa pun, apa pun profesinya, memang mesti ada kepedulian terhadap hak asasi manusia. Apalagi sosok-sosok individu yang memiiki pengaruh publik, itu kan positif,” kata Amiruddin kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Meksi demikian, Amiruddin mengaku Komnas HAM belum memiliki data sejauh mana sumbangsih mereka sejauh ini. Intinya, kata dia, musisi yang berbicara HAM merupakan suatu hal yang positif.
“Yang bisa kita lihat, sosok indvidu yang memiliki pengaruh publik, ketika berbicara HAM, itu positif,” jelasnya.
Senada, Koordinator KontraS Yeti Andriyani mengatakan sejumlah musisi dan seniman sejauh ini konsisten untuk mengisi Kamisan. Dukungan mereka disebutnya sebagai suatu hal yang positif dalam penyelesaian berbagai kasus HAM seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, Tragedi 1965, dan sebagainya.
“Karena dukungan mereka memnunjukkan perjuangan melawan lupa, perjuangan melawan pelanggaran HAM itu bukan dari keluarga korban saja, tapi juga dari musisi dan artis,” kata Yeti.
Menurut Yeti, keterlibatan artis dan seniman juga seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM. “Karena penyelesaian masalah ini berguna bagi banyak pihak, termasuk kalangan musisi dan sebagainya,” ujarnya.