Purnomo tersingkir. Wakil walikota Solo ini harus mengubur mimpinya untuk bisa berlaga di pilkada Solo desember nanti. 

Karir politik Purnomo mendadak berhenti setelah dihadang Gibran, putra sulung presiden yang tanggal 23 september 2019 lalu baru mendaftarkan diri sebagai anggota resmi PDIP. Meski lebih senior dan punya pengalaman lebih matang, tapi Purnomo bukan anak presiden. 

Dari sisi akseptabilitas dan elektabilitas, Purnomo jauh lebih tinggi dari Gibran. Sebelum akhirnya anjlok ketika Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Kok mundur? Rupanya Purnomo menyadari tak mungkin bisa melawan putra mahkota. Tahu siapa yang dihadapi. Tapi, pengunduran diri Purnomo ditolak oleh DPC PDIP Solo. Ujung-ujungnya, ia pun tetap gak direkomendasi DPP. Nyesek! 

Selain anak presiden, Mas Gibran lebih muda. keluh Purnomo setelah pulang dari istana. Kasihan amat! Lebih kasihan lagi, Purnomo sekarang harus muncul ke publik untuk memberi dukungan ke Gibran. Publik tahu itu bukan jiwa besarnya, tapi ada faktor x kenapa ia harus melakukannya. Purnomo bukan malaikat bro! 

Kecewa, manusiawilah, kata FX Hady Rudyatmo, walikota Solo yang sekaligus Ketua DPC PDIP Solo yang sedari awal ngotot rekomendasikan Purnomo untuk maju sebagai calon walikota Solo. Idealisme Hady layak diapresiasi. Meski pada akhirnya harus menyerah di hadapan dua kekuatan besar yaitu presiden dan DPP. 

Itulah politik. Tak ada pakem kecuali kepentingan yang ditransaksikan di atas meja demokrasi. Siapa yang mampu membeli dengan harga paling tinggi, dialah pemenangnya. Soal moral dan kepatutan, itu nomor 12. Peduli amat!

Kenapa Gibran yang baru berusia 33 tahun dan belum genap setahun jadi kader resmi PDIP harus dipaksakan maju di pilkada Solo? Pertama, ini soal Momentum. Dalam posisi orang tua jadi presiden, Gibran lebih mudah mendapatkan tiket PDIP. Dalam konteks pilkada Solo, pertarungan yang sesungguhnya adalah merebut tiket PDIP. Tiket didapat, beres! Karena ini yang paling menentukan. Meski harus memotong Purnomo yang jauh lebih senior, berpengalaman dan matang. 

Beda cerita jika Gibran harus berjuang sendiri untuk mendapatkan tiket dari PDIP. Tanpa tangan Sang Ayah, gak kebayang bisa dapat rekomendasi itu. 

Kedua, peluang menang sangat besar. Siapapun yang dicalonkan PDIP di pilkada Solo, hampir pasti akan menang. Sebab, Solo itu basis PDIP. 

Lalu, siapa bakal calon lawan Gibran? Kotak kosong! Bukan karena tak ada yang berani. Faktornya karena tiket tersisa gak cukup untuk mengusung calon lawan. Sudah habis diborong istana.  

Di Solo, 30 kursi milik PDIP. Gerindra, PAN dan Golkar masing-masing 3 kursi. PSI 1 kursi. Semua akan mengusung Gibran. Kecuali 5 kursi PKS tak cukup mengusung calon sendiri. Sebab, untuk mengusung calon minimal 9 kursi. 

Kenapa PKS gak ikut bergabung? Bukannya kalau gak ikut bergabung juga gak bisa mencalonkan?