Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusa Tenggara Timur (NTT), Ajhar Jowe menilai kehadiran organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebarkan ideologi khilafah di NTT menjadi tamparan keras bagi pemerintah NTT dan penegak hukum di daerah itu.

Hal itu disampaikannya karena sejak HTI dibubarkan oleh pemerintah pusat, Pemprov NTT dan aparat keamanan di provinsi itu menganggap remeh dengan menilai bahwa organisasi itu tidak akan melakukan gerakan apapun.

“Tentu pikiran kita hanya sampai di situ, tetapi reaksi mereka tetap melakukan berbagai aktivitas hingga melakukan siaran langsung video rapat virtual di depan Kantor Gubernur NTT,” ujarnya di Kupang, Senin (1/6).

Ia mengatakan hal itu berkaitan dengan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian dan organisasi masyarakat Brigade Meo terhadap pentolan HTI Suryadi dan istrinya Koda pada Sabtu (30/5) pekan lalu di Kupang.

Baca Juga:  NTT Berlakukan KBM Tatap Muka Secara Bertahap Mulai Mei

Ia menjelaskan, bahwa entah secara sengaja atau tidak sengaja pentolan HTI Suryadi melakukan aksinya secara bebas itu menunjukkan bahwa mereka (kelompok HTI-red) ada di Kota Kupang.

Ajhar mengatakan, bahwa GP Ansor sendiri beberapa kali di tahun 2019 lalu sering menggagalkan pertemuan yang dilakukan oleh sejumlah pentolan HTI di Kota Kupang.

“Nah pekan lalu mereka semakin berani unjuk gigi di depan publik, dan ini tentu saja berbahaya bagi daerah kita,” katanya.

Ia juga mengatakan, bahwa dari pantauan yang dilakukan oleh GP Ansor NTT sejauh ini eks HTI beraktivitas di Kota Kupang secara masif. Mereka melakukan gerakan konsolidasi dari rumah ke rumah.

Baca Juga:  Diduga Hina Bupati Edi Endi, Polisi Tetapkan Warga Mabar Tersangka

“Unjuk diri di depan publik menunjukkan bahwa mereka mencobai publik NTT, Pemprov NTT, Polisi, TNI, dan badan intelijen daerah di provinsi ini,” tambah dia.

Sebelum ditangkap oleh pihak kepolisian, pentolan HTI itu sempat menyebarkan pamflet dengan menyelipkan di sejumlah penjual koran di jalan El Tari Kota Kupang.

Para penjual koran itu diberikan sejumlah uang agar bisa menjual koran itu dengan tidak membuang sejumlah pamflet tersebut agar bisa dibaca oleh pembaca.

Usai menyebarkan pamflet, Suryadi kemudian melakukan rapat secara virtual dengan eks HTI lainnya di berbagai daerah dengan latar belakang kantor gubernur NTT. (Ant)