Dalam video yang beredar di media sosial, Rabu (2/10), Megawati disorot kamera saat sedang berjalan di wilayah VIP di dalam Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen. Banyak orang menyalami Megawati saat Presiden RI ke-5 itu lewat di hadapan mereka. Di antaranya adalah politikus Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan politikus Golkar Rizal Mallarangeng.

Namun, saat berhadapan dengan Megawati, Paloh tak menjulurkan tangan untuk bersalaman ke arah Megawati yang juga saat itu menoleh ke arah lain. Terlihat Megawati kemudian bersalaman dengan Wakil Presiden Ma`ruf Amin.

Merespons isu keretakan itu, Paloh hanya tertawa. Dia mengaku jika kejadian tersebut hanya kebetulan semata. “Bahkan kadang-kadang kita selalu suka hal-hal yang sensansional. Barangkali ketika (Megawari) lewat dan gak nyalam jadi berita, dan viral. Saya pikir tidak lah,” kata Paloh usai menghadiri pemilihan dan pelantikan Bamsoet sebagai Ketua MPR, Kamis (3/10) malam.

Paloh mengaku hubungannya dengan Mega tetap akur. Dia juga tidak merasa kedekatan Prabowo dan Mega akan mengancam posisi Nasdem di koalisi. “Nggak juga. Kenapa kita terikat dengan pikiran-pikiran yang sempit,” kata Paloh.

Hubungan yang tak pernah awet dalam koalisi partai di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Litbang Kompas yang dimuat dalam Harian Kompas, 16 November 2015 menulis keretakan dalam koalisi berhubungan dengan pragmatisme politik.

“Ciri utama dari perpecahan parpol umumnya dimulai dengan konflik antarelite terkait dengan sikap mereka terhadap strategi dalam merebut kekuasaan. Pragmatisme politik yang didorong oleh hasrat untuk berkuasa yang tinggi membuat sejumlah elite memisahkan diri dari parpol induk dan mendirikan parpol”.

Hal lain yang memungkinkan perpecahan ialah skema multi partai dalam sistem presidensial yang berlaku di Indonesia. Koalisi selalu dibentuk saat Pemilu tiba. Pula hubungan antarparpol, meski se-ideologi-pun tak pernah awet. (Disadur dari Alinea.id/Marselinus Gual)