Kepolisian Sektor Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) telah selesai memeriksa aktvis dan sastrawan muda NTT Felix Nesi. Informasi yang diperoleh Tajukflores.com dalam percakapan yang dibagikan di grup WhastApp, polisi belum menetapkan status Felix sejauh ini terkait kasus perusakan di rumah pastoran Paroki Insana, TTU.

“Jam 2 siang tadi Feliks sudah pulang ke rumah setelah di-BAP (berita acara pemeriksaan). Feliks juga “belum/tidak” ditetapkan dengan status apapun dari pihak polisi,” tulis sumber itu.

Menurut sumber, saat Felix Nesi sudah di rumahnya di Bitauni, Pastor Paroki Insana Romo Agus Seran, Pr langsung mendatangi Felix dan menyatakan kesediaanya untuk memediasi kasus tersebut.

“Beliau (Romo Agus Seran) datang sebagai pastor dan kakak. Beliau mau menjadi mediator untuk urusan selanjutnya. Rm Agus dan Pak Viktor Manbait akan mencoba memediasi dan mengatur penyelesaian kasus ini,” jelas sumber tersebut.

Sumber juga mengatakan Felix Nesi mengakui adanya pelanggaran hukum dari perbuatannya. “Dia bersedia mengikuti proses hukum jika ada tuntutan lanjutan,” tulis sumber lebih lanjut.

“Harapan saya, kita tidak cepat terpengaruh dengan pemberitaan media sampai sudah ada kejelasan kasus. Secara pribadi, saya mhon maaf kepada semua teman-teman yang ikut berpikir keras dan mungkin cukup terganggu dengan kasus ini. Kami mohon doa, semoga kasus ini segera bisa selesai,” katanya.

Sebelumnya, Felix Nesi, aktivis dan sastrawan pemenang Sayembara Novel DKJ 2018 mengaku ditahan kepolisian dari Polsek Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Jumat (3/7) malam.

Dalam unggahan di akun Facebooknya, Felix Nesi mengaku ditahan karena memecahkan kaca-kaca jendela pastoran Paroki Insana, TTU. Aksinya itu tak lepas dari kekecewaanya terhadap ketidaktegasan Keuskupan Atambua dan pastor Paroki Insana terhadap seorang romo (pastor) yang diduga bermasalah.

“Saya kecewa. Saya emosi. Di tangan saya ada helm. Di depan saya ada kaca jendela. Maka saya hantam kaca-kaca jendela pastoran dengan helm. Helm INK sungguh kuat, kaca-kaca hancur berantakan. Saya pegang kursi-kursi plastik di teras rumah dan saya banting sampai hancur,” kata Felix sebagaimana dikutip Tajukflores.com di akun Facebooknya, Sabtu (4/7).

Dalam wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, Felix mengaku merusak kaca rumah pastoran Paroki Insana, Keuskupan Atambua.

“Saya kecewa. Saya emosi. Di tangan saya ada helm. Di depan saya ada kaca jendela. Saya hantam kaca jendela pastoran itu, hingga hancur berantakan. Saya pegang kursi-kursi plastik di teras rumah pastoran dan saya banting sampai hancur,” tulis Felix K. Nesi.

Kekesalan itu bisa dimaklumi. Sebab, Felix, sastrawan asal Nusa Tenggara Timur itu muak melihat seorang pastor berinisial ”A” baru dipindahkan ke Sekolah Menengah Katolik, SMK Bitauni, dekat rumahnya. Padahal, pastor tersebut ketahuan melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan di Paroki Tukuneno, Atambua. ”Tidak perlu kita bahas detilnya,” tulis Felix di akun Facebooknya.

Pemindahan pastor ”A” itu itu sudah diutarakan kepada sejumlah pimpinan Katolik setempat, termasuk kepala sekolah SMK Bitauni. Tapi, hanya jawaban buntu, setelah berbicara cukup lama, seperti layaknya anak dan bapak. ”Di akhir pembicaraan romo kepala bilang, bahwa Surat Keputusan Romo “A” hanya berlaku sekitar satu atau dua bulan saja. Sesudah itu, ia akan dipindahkan. Ini istilahnya hanya penyegaran,” tulis Felix menambahkan.

Satu bulan kemudian, pada Maret atau April silam, Felix datang menemui sejumlah pemimpin Gereja Katolik yang tengah makan malam. Termasuk di antaranya Mgr Pain Ratu, uskup setempat, dan hadir pula romo “A”.

Kepada tersangka romo tersebut, Felix sempat mengutarakan kekecewaannya. ”Romo, tolong, pindahlah dari sini. Carilah tempat lain yang sepi untuk melakukan refleksi diri, agar bisa menentukan pilihan kembali sebelum berkarya kembali,” tulis Felix, penulis kelahiran Nesam, Insana, Nusa Tenggara Timur. Bahkan romo kepala sekolah SMK Bitauni sempat dikejarnya, karena dianggap selalu berkelit menghadapi kasus ini. ”Saya tidak berbohong. Ingat itu!” kata romo kepala sekolah dengan nada tinggi.

Setelah menunggu hingga 3 Juli lalu, Felix bermaksud mengecek kata-kata romo kepala sekolah itu. Ternyata romo “A” masih bertugas di pastoran Baituni, seperti dituturkan petugas satpam setempat. Dan terjadilah kasus penghancuran kaca jendela pastoran Baituni. ”Saya pulang ke rumah dan seperti dugaan saya. Tak sampai satu jam saya dijemput polisi dan diamankan di Kantor Kepolisian Insana, selama sehari,” tulis Felix.

”Institusi gereja sangat lambat mengurusi pastor bermasalah, tapi sangat cepat mempolisikan orang-orang marah,” tulis Felix lulusan psikologi Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur. Dalam wawancara dengan The Margin, situs Asian American Writers’ Workshop, Felix menjelaskan pihak kepolisian menanggapi kasus kekerasan seksual dengan keliru. Laki-laki lahir dan dibesarkan dalam kultur patriarki, di mana kaum pria berada di atas kaum hawa.

”Seperti kita menyuruh adik perempuan mencucikan baju kita,” tutur Felix yang memenangkan sejumlah anugerah Makassar International Writers Festival in 2015. ”Dan polisi selalu percaya bahwa perempuan selalu berbohong, jika dia melapor,” sambung Felix. yang meraih anugerah the Jakarta Arts Council tahun 2018 untuk novelnya berjudul ‘Orang-orang Oetimu’. Hingga kini, kasus perusakan itu tidak sampai ke pengadilan. Mungkin juga kasus pelecehan Romo “A”.

Karena itu, upaya penyuluhan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara perlu dilanjutkan lagi. Sekitar tahun 2018 lalu, jajaran Kejari melakukan penyuluhan hukum yang diikuti 27 siswa dan siswi kelas IX Sekolah Menengah Pertama Santa Maria Bitauni.

”Di Timor Tengah Utara banyak kasus anak-anak di bawah usia menjadi korban pelecehan seksual. Bahkan ada yang menjadi pelakunya. Kami berharap anak-anak mengetahui hak dan kewajibannya di mata hukum dari kegiatan penyuluhan ini,” tutur Novantoro Catur Prabowo, Kepala Seksi Intel, Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara.