Tajukflores.com – Kondisi politik di Indonesia semakin panas jelang Pilpres 2024. Salah satu peristiwa mengejutkan adalah langkah Gibran Rakabuming Raka, kader PDIP dan Wali Wota Solo, yang baru saja diumumukan Partai Golkar sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.
Di sisi lain, beredar kabar jika berkas persyaratan Gibran sebagai cawapres Prabowo sudah lengkap dan siap untuk diserahkan ke Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM), guna dibawa ke pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Langkah ini menuai kritik keras Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. Ia secara khusus menyoroti nepotisme Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sikap tidak etis anak sulungnya, Gibran.
Petrus Selesitunus menilai, langkah Gibran untuk bergabung dengan Partai Golkar demi jadi cawapres Prabowo merupakan tindakan yang kurang elok, melanggar norma dan etika.
Langkah tersebut dinilainya juga sebagai cerminan dari perubahan sikap Presiden Jokowi yang sekarang dinilai tidak lagi memedulikan persatuan bangsa.
Petrus menegaskan, sebagai mantan wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta, serta dua kali menjadi presiden RI, Jokowi dan Gibran adalah kader PDIP yang telah menjabat di posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.
Namun, langkah Gibran untuk pindah ke Partai Golkar dipandangnya sebagai tindakan yang tidak menghormati etika politik dan tidak memperhatikan adat dan budaya ketimuran.
“Padahal, Jokowi maupun GRR adalah kader PDIP yang dibesarkan hingga menduduki jabatan publik yang strategis. Mulai dari jadi wali kota Solo, gubernur DKI, hingga dua periode jadi presiden RI,” kata Petrus dalam keterangannya, Minggu, 22 Oktober 2023.
“Sementara GGR (Gibran Rakabuming Raka), jadi wali kota secara instan tanpa keringat dan jelas prestasinya. Namun sekarang lompat pagar, tanpa jaga etika, abaikan adat dan budaya ketimuran serta ingkar terhadap etika dalam hidup bernegara,” imbuh koordinator advokat Perekat Nusantara ini.
Petrus juga menyoroti keputusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara PUU No. 90/PUU-XXI/2023 terkait perubahan batas usia minimum capres-cawapres.
Petrus menilai hal ini menunjukkan nepotisme Jokowi yang tampak sedang merambah ke berbagai aspek pemerintahan.
Diketahui, Wakil Ketua MK Saldi Isra dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK karena memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan syarat batas usia capres-cawapres.
Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan itu diwarnai dissenting opinion oleh 4 hakim konstitusi, salah satunya Saldi.
“Hal ini menunjukkan betapa Jokowi sedang menggunting dalam lipatan, tidak disiplin dalam berpartai dan dalam etika bernegara, sehingga Jokowi yang dulu berbeda 180 derajat dengan Jokowi sekarang,” jelas Petrus.
“Oleh karena itu, pertanyaannya, kapan kita menghentikan langkah Jokowi dan Anwar Usman guna menyelamatkan bangsa ini?,” imbuh Petrus.
Sebelumnya, Presiden Jokowi merespon usulan Partai Golkar yang mengusung anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bacawapres yang mendampingi Prabowo Subianto untuk pemilihan presiden (pilpres) 2024.
“Ya, orang tua itu hanya tugasnya untuk mendoakan dan merestui. Keputusan semuanya karena sudah dewasa, jadi jangan terlalu mencampuri urusan yang sudah diputuskan oleh anak-anak kita,” ujar Jokowi usai menghadiri Apel Santri di Tugu Pahlawan, Jawa Timur, Minggu, 22 Oktober 2023.
Menurut Jokowi, peran orang tua adalah memberikan restu dan doa, sementara keputusan politik merupakan hal yang sudah diambil oleh anaknya.
Jokowi juga menekankan pentingnya menanyakan apakah anaknya diusung menjadi Cawapres sudah masuk dalam wilayah partai politik, koalisi partai politik, atau gabungan partai politik.
“Tanyakan ke partai politik itu wilayahnya partai politik atau koalisi partai politik atau gabungan partai politik. Bukan urusan Presiden,” kata Jokowi.