Tajukflores.com – Media sosial kerap diwarnai dengan keluhan rakyat terkait kinerja pemerintah. Di balik keluhan ini, muncul narasi sarkasme yang menusuk: “Jangan terlalu menuntut, toh suaramu sudah dibeli!”
Pernyataan ini ibarat tamparan keras bagi demokrasi, meragukan hak rakyat untuk menuntut kinerja pemimpin yang seharusnya mereka pilih. Di baliknya, terukir luka mendalam akibat praktik politik uang yang menggerogoti integritas dan kapabilitas dalam pemilu.
Ironisnya, rakyat yang seharusnya menjadi pemilik suara justru terjerat dalam lingkaran setan politik uang. Suara mereka dibeli, dan diubah menjadi komoditas dagangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Inilah yang dikeluhkan politikus Partai Gerindra, Honing Sanny, tentang maraknya praktik politik uang (jual beli suara) dalam pemilu di Indonesia.
Berkaca dari pengalamannya di kontestasi Pileg 2024 lalu, integritas dan kapabilitas menurutnya tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan kemenangan, melainkan modal finansial yang besar.
Menurut Honing Sanny, pemilu telah menjadi ajang transaksi jual beli suara, di mana kandidat dengan modal finansial terbesar berpeluang lebih besar untuk menang.
Visi dan misi para calon, meskipun penting, dianggap tidak lagi menjadi faktor penentu utama.
Praktik politik uang ini bukan hanya terjadi di satu daerah, tetapi di seluruh Indonesia. Sistem pemilu saat ini, menurut Honing Sanny, mendorong terjadinya praktik koruptif ini.
Mengapa Orang Menjual Suaranya?
Praktik politik uang atau klientelisme bagaikan parasit yang menggerogoti kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada awal 2023 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: 36,5% responden mengaku pernah terlibat dalam transaksi politik uang. Artinya, 3 dari 10 pemilih terjerumus dalam praktik ini.
Penulis : Redaksi Tajuk Flores
Editor : Marcel Gual, Peter D
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya