Polisi perlu menahan “syahwat” dalam menangani kasus prostitusi online. Mengumbar identitas dan visual dalam kasus VA dan AS di Surabaya merupakan tindakan yang kelewatan.

Kepolisian Daerah Jawa Timur menciduk aktris VA dan model AS di sebuah hotel di Surabaya, Sabtu pekan lalu. Sejak awal penyidikan, polisi seolah-olah menempatkan kedua selebritas itu sebagai pelaku utama.

Hal ini menyalahi aturan karena obyek utama dalam delik prostitusi adalah muncikari. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dapat menjerat pekerja seks, juga pengguna jasanya. Hal itu terbukti dengan dilepaskannya VA dan AS setelah diperiksa berjam-jam. Mereka diberi status sebagai saksi dan korban.

Baca Juga:  Gibran vs Kotak Kosong

Sebaliknya, peran ES dan TN, germo yang disebut mendapat 30 persen dari nilai transaksi, seperti tenggelam. Padahal, merekalah penjahat yang sesungguhnya. Mereka dijerat dengan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP yang berkaitan dengan tindak memudahkan perbuatan cabul dan mencari keuntungan dari pelacuran.

Polisi seperti tidak belajar dari kasus sebelumnya. Saat menangani kasus muncikari prostitusi online Robbi Abbas, yang mencuat pada Mei 2015, nama-nama selebritas yang diduga dia tangani mencuat dan menenggelamkan penanganan kasus itu sendiri.

Baca Juga:  MNC Mengancam Demokrasi Indonesia

Polisi seharusnya belajar dari Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK berulang kali menangani kasus pelacuran perempuan sebagai bagian dari gratifikasi seksual. Namun mereka tak genit mengumbar identitas pekerja seks dan berfokus pada penuntasan kasus utama.

Kasus ini menarik untuk menjadi pelajaran. Di kalangan pegiat isu-isu gender dan hak asasi manusia (HAM) sendiri, mereka terpecah soal ini. Ada yang menyebut VA dan AS sebagai korban. Mereka dianggap sebagai korban perdagangan orang, eksploitasi orang dekat, atau jeratan muncikari.