Yusril mengatakan, penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Pasalnya, kata dia, hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau hanya berupa pernyataan pendapat DPR.

“Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2).

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengatakan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui MK.

Yusril mengatakan perihal hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 dan Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Dua aturan itu terkait fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum.

Selain itu, Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam hal ini Pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

“Saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan Pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan,” ucap Yusril.

Di sisi lain, lanjut Yusril, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum. Sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada kekacauan.