“Yang berikut saya bicara ke masyarakat melalui BPD, jalan tani itu ada UU barunya, dia tidak akan lapen, batasnya sampai di pengerasan saja, itu kalau berdasarkan yang dibicarakan atau dijelaskan di Kecamatan. Dan (jalan tani ini) bukan keinginan kepala desa, ini karena maunya masyarakat, bukan visi misinya kepala desa itu jalan tani, itu hasil Musdus,” tambahnya.

Sementara soal tidak adanya papan informasi soal anggaran proyek tersebut, dia mengatakan hal itu bukan tugas masyarakat. Sebab, itu adalah urusan pihak inspektorat.

“Itu bukan urusan mereka, mereka bukan orang yang mengaudit. Sekarang bukan papan manual, jadi kalau mereka mau tahu, belum saatnya bikin papan, dan menurut saya itu bukan pekerjaan masyarakat. Kalau mereka mau tuntut itu, tuntut ke BPD, kalau saya ada mafia. Sekarang ini zaman terbuka, tidak bisa buat seperti itu,” tutupnya.

Sebelumnya, Silvester Magu mengaku lahannya digusur paksa pemerintah desa setempat dengan dalih pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tani. Satu pohon kemiri telah digusur tanpa pemberitahuan sama sekali.

“Saya baru pulang mengcek jalan yang sudah gusur itu, beruntung saya cepat melihat lokasi. Sudah ada satu pohon kemiri yang terlanjur digusur,” kata Silvester saat dihubungi Tajukflores.com, Kamis (9/5).

Silvester mengatakan dirinya tidak tahu menahu kapan pemerintah desa mulai melakukan penggusuran. Namun, informasi yang diperolehnya bahwa penggusuran dilakukan dengan dalih pembebasan lahan.

“Saya juga tidak tahu, kapan mulai penggusuruan. Saya tidak pernah tahu, infomasi mereka (sampaikan terkait) proyek pembebasan lahan dan digusur sampai Wae Kala. Saya diberi tahu orang (ada penggusuran), makanya mengecek langsung,” tutur Silvester.

Silvester mengatakan dirinya tak pernah dipanggil sama sekali oleh kepala desa ihwal rencana penggusuran. Penggusuran, kata dia, menggunakan anggaran dana desa.

Padahal, kata dia, setiap pembukaan jalan tani di desanya oleh pemerintah desa tak jelas manfaatnya. Pemerintah desa, kata dia, tak pernah menghargai pemilik tanah.

“Kecewanya kami, mereka main buka jalan, tidak pernah ada kejelasan manfaatnya. Paling tidak, hargai pemilik tanah,” kata dia.

Idealnya, kata Silvester, jika ada kesepakatan sejak awal, pemerintah desa harusnya melakukan survei bersama pemilik lahan, sehingga tidak ada yang dirugikan terkait penggusuran.

“Kalau mereka menghargai masyarakat, survei jalan bersama-sama, sehingga tidak ada yang dirugikan. Karena mereka menganggap penguasa, terserah mereka saja,” jelas Silvester.

Lebih jauh, Silvester berkata sebelum penggusuran, pemerintah desa mengaku akan ada rapat dengan pemilik lahan. Nyatanya, hingga penggusuran, tidak ada sama sekali dari pemerintah desa memanggil para pemilik lahan untuk rapat.

“Mereka (pemerintah desa) sebut bikin rapat pembebasan lahan, semua pemilik tanah dipanggil, nyatanya tidak sama sekali,” tutup Silvester.