Sejatinya, kata Islah, Densus 88 banyak melakukan upaya-upaya humanis pascapenangkapan. Karenanya penangkapan tetap dilakukan agar mereka teralienasi sementara waktu untuk disadarkan, lalu dilepas kembali ke tengah masyarakat dalam keadaan “fitrah”, menjadi manusia yang berkemanusiaan.

“Namun, semua ada ukurannya. Tidak semua penangkapan berjalan mulus. Ada perlawanan yang terkadang memaksa terciptanya “overmacht”, keterpaksaan saling tembak yang mengakibatkan korban jiwa. Situasi ini sulit dihindari,” jelas dia.

Dia melanjutkan, Densus 88 juga menggunakan pendekatan “democratic policing” dalam menangani terorisme. Menurutnya, pihak yang tidak menyukai Densus 88 ini adalah mereka yang tahu sisi luarnya saja.

“Banyak mantan teroris yang tertangkap justru berterima kasih dan bersahabat baik dengan Densus 88. Bahkan ikut serta melakukan sosialisasi kontra-radikal kepada masyarakat yang belum terpapar,” tutur Islah.