Bonar mengatakan, Setara Institute juga meminta perhatian Panglima TNI terhadap keluhan dari kelompok penghayat yang ingin menyumbangkan tenaganya untuk menjadi prajurit TNI. Dalam catatan Setara Institute, mereka yang merupakan keturunan kelompok penghayat mengalami hambatan dan diskriminasi ketika hendak melakukan pendaftaran melalui formulir online.
“Dikarenakan di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat. Sehingga kalaupun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, mereka harus memilih agama dan keyakinan lain,” bebernya.
Padahal, lanjut Bonar, di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian hambatan semacam itu tidak ditemukan. Dia berkata, ketiadaan kolom untuk kelompok penghayat dalam formulir online untuk menjadi prajurit TNI jelas bertentangan dengan UUD Adminduk Nomor 24 Tahun 2013 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang menyatakan warga negara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
“Hendaknya Panglima TNI mengambil langkah perbaikan agar kelompok penghayat memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai warganegara untuk menjadi prajurit TNI,” pungkas Bonar.