Tajukflores.com – Terlahir sebagai anak dari kepala Perwakilan Pelni di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) hidup Alfons Loemau seharusnya nyaman. Namun, kenyataannya berbeda. Alfons dan saudara-saudaranya kerap disuruh ayahnya untuk berjualan ikan bakar di pasar.

Alfons membagikan kisah hidupnya dalam sharing session keluarga rantau Flobamora di Sekretariat Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora (FKM Flobamora) Jakarta di Amuya Cafe-Graha Kana, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 26 Januari 2024 malam. Sharing session diawali dengan sambutan dari Ketua FKM Flobamora, Donkers Mayorga.

Purnaiwaran Polri Alfons Loemau merupakan salah satu putra NTT yang memiliki karir bagus di Polri dengan pangkat terakhir sebagai komisaris besar (kombes).

Alfons merupakan lulusan Akpol 1974 dan berpengalaman dalam bidang reserse. Jabatan terakhir terakhirnya adalah Staf Ahli Wakapolri dan Kepala Biro Binamitra Polda NTT.

“Di sana (Atambua), kalau anak dari kepala Pelni itu kata orang sesuatu (sebuah kehormatan). Tetapi saya sangat terhina karena setiap bapak saya pulang dari Pelabuhan Atapupu, dia beli ikan banyak, dia panggang ikan terus suruh kami jual di pasar,” kata Alfons Loemau.

Kendati demikian, Alfons Loemau yang lahir pada 26 Januari 1951, memilih untuk memendamnya dalam hati dan merasakan dorongan kuat untuk membuktikan bahwa ia juga bisa sukses suatu hari nanti.

“Dalam hati saya, ini orang tua kok begini, tapi hanya dalam hati, tidak berani keluar karena bapak saya keras,” sambungnya.

Warisan pendidikan, bukan harta

Suatu hari, setelah pulang dari melayat, ayah Alfons Loemau memanggil ia dan saudara-saudaranya. Di depan mereka, sang ayah mengatakan bahwa ia tak akan membagikan sepeser pun harta kekayaan.

“Kalian punya bapak punya sapi, punya mobil dan sebagainya, tapi jangan kamu pikir harta saya buat kamu. Kalau kamu tidak sekolah, kamu bukan siapa-siapa,” kata ayah Alfons kala itu.

Rupanya, sang ayah memberi pesan kepada mereka lantaran melihat kejadian di tempat melayat dimana anak-anak dari kerabatnya yang meninggal hari itu merebut harta warisan di saat jenazah ayah mereka masih disemayamkan.

“Jadi, jangan sampai seperti opa yang meninggal tadi, begitu jenazah sudah di tempat tidur, anak-anak rebut harta. Buat kalian, sepeser pun tidak saya wariskan,” kata ayah Alfons.

Meski awalnya merasa tersinggung dan terhina, Alfons Loemau merasa dorongan kuat untuk membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci utama kesuksesan, bukan harta benda.

“Saya merasa bahwa didikan itu membuat saya terhina, dan terhina itu harus berbuat sesuatu dan harus pulang membawa kebanggaan,” kata Alfons.

Alfons mengaku bahwa ia adalah seorang anak yang nakal di masa kecilnya. Namun, ia juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, terutama tentang keadilan.

Pasca tahun 1965, Alfons Loemaumenyaksikan peristiwa pembantaian massal yang terjadi di Atambua pasca-G30S/PKI. Peristiwa tersebut membuat Alfons Loemausemakin ingin menjadi seorang aparat penegak hukum.

“Pada tahun 1965 pasca PKI, bagaimana mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan Kota Atambua. Dan yang saya lihat, yang mati itu itu kuli-kuli bodoh, tidak tahu apa-apa dan mereka dipotong,” katanya.