“Dan kami selalu berkomunikasi dengan mereka from time to time untuk memantau kondisi keduanya,” kata Zelda.

Kedua insinyur Indonesia tersebut merupakan anggota tim pengembangan jet tempur bersama dengan Korsel, yang sehari-hari bekerja bersama Korea Aerospace Industry (KAI) sebagai mitra PTDI dalam kerja sama industri pertahanan itu.

Pihak berwenang Korsel menyatakan menangkap dua insinyur Indonesia itu pada Januari 2024, setelah mereka kedapatan berusaha mengambil file terkait proyek yang disimpan di drive USB.

Salah satu pejabat badan Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korsel, yang menjadi mitra Kemhan RI dalam kerja sama KF-21, mengatakan penyelidikan berfokus pada identifikasi dokumen spesifik yang coba dicuri para pakar dari Indonesia tersebut.

Menurut sumber yang tidak disebutkan namanya itu, USB tersebut berisi dokumen umum, bukan data-data yang terkait teknologi strategis yang berpotensi melanggar undang-undang rahasia militer atau perlindungan industri pertahanan.

KF-21 Boramae merupakan proyek bersama Indonesia-Korsel yang bernilai 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp121,35 triliun. Melalui kerja sama tersebut, kedua negara akan memproduksi 120 unit jet tempur untuk Korea dan 48 jet tempur untuk Indonesia.

Tidak hanya itu, Indonesia juga dijanjikan mendapat transfer teknologi yang akan mendorong industri pertahanan dalam negeri dalam produksi pesawat KF-21 untuk pasar global.

Sesuai kesepakatan awal pada 2014, Indonesia dibebankan 20 persen dari total biaya pengembangan pesawat tempur itu yang ditargetkan rampung pada 2026.

Namun dalam perkembangannya, Kemhan RI baru-baru ini meminta penyesuaian pembayaran (payment adjustment) kepada Pemerintah Korsel atas kerja sama pembuatan KF-21 Boramae karena menganggap Indonesia tak sepenuhnya mendapatkan kegiatan transfer teknologi dalam pembuatan jet tempur tersebut.