Mereka menuduh saya naik ke mobil tanpa izin, meski saya menjelaskan bahwa saya diminta oleh Polwan. Saat turun dari mobil, mereka langsung mencekik saya dan menggiring saya sekitar 50 meter dari lokasi mobil dan sekitar 60 meter dari tempat warga berkumpul, sambil terus menanyakan kartu pers saya.

Mereka tidak puas dengan penjelasan saya, dan memulai aksi kekerasan dengan memukul wajah dan kepala saya, menarik tas hingga talinya putus, serta menendang beberapa bagian tubuh saya.

Beberapa aparat, termasuk wartawan dan anggota intel, ikut terlibat dalam pemukulan ini. Saya berteriak meminta bantuan, dan beberapa warga Poco Leok mencoba mendekat dan merekam kejadian tersebut, namun aparat mengejar dan melarang warga merekam.

Akibat kekerasan ini, pelipis kiri saya bengkak dan lebam, serta lutut saya sakit. Mereka menuduh saya sebagai provokator dan anak buah Pater Simon Suban Tukan, seorang pastor yang mendampingi warga Poco Leok dalam menentang proyek geotermal.

Setelah serangkaian kekerasan, saya dimasukkan ke dalam mobil polisi. Di dalam mobil, seorang polisi terus meminta ID card saya sambil mengabaikan penjelasan saya.

Kemudian, polisi lain merampas ponsel saya dan mulai memeriksa pesan-pesan serta foto yang ada di dalamnya. Mereka bahkan memaksa saya untuk membalas pesan dari seorang jurnalis dengan pernyataan yang mereka tentukan.

Setelah melalui intimidasi dan pemeriksaan, saya diminta memberikan klarifikasi di lokasi tersebut. Mereka merekam pernyataan saya dan meminta saya mengganti kata “ditahan” dengan “diamankan” dalam klarifikasi.

Namun, saya menolak untuk mengatakan bahwa saya dilepaskan dalam keadaan “selamat” karena telah dipukuli sebelumnya.

Setelah klarifikasi, saya diizinkan pulang, meski ponsel saya masih disita. Saya ditangkap sekitar pukul 14.37 WITA dan baru dibebaskan sekitar pukul 18.00 WITA.