Di hadapan penyidik, CM menjelaskan bahwa dia memiliki dua alasan untuk mengunggah status tersebut. Pertama, karena dia kecewa dengan AD (pelapor), manajer salah satu hotel di Senaru, yang tidak konsisten dengan perkataannya.

“Sebelumnya, di hadapan keluarga CM, AD sudah mengakui dan meminta maaf atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap CM. Namun, di akun Youtube dan Tiktoknya, AD justru membantah telah melakukan pelecehan seksual dan menuduh CM melakukan fitnah. Hal ini yang menjadi kekecewaan pertama CM,” ungkap Yan.

Kedua, CM mengaku kecewa dengan keputusan Kepolisian yang menyatakan bahwa laporannya di Polres Lombok Utara terkait pelecehan seksual yang dialaminya tidak memiliki cukup bukti. Padahal, menurut Yan, bukti pelecehan seksual yang dialami CM sudah sangat jelas.

“Dalam pemeriksaan, CM juga menjelaskan bahwa status Facebooknya tidak ditujukan kepada individu tertentu, termasuk AD. Status tersebut hanya berisi kekecewaannya, dan tidak menyebutkan nama maupun lokasi kejadian. Oleh karena itu, klien saya tidak merasa melakukan pencemaran nama baik,” kata Yan.

Yan juga menyampaikan bahwa proses penyidikan terkait UU ITE terhadap CM masih berlangsung. Namun, di balik proses penyidikan tersebut, pihaknya berkoordinasi dengan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda NTB terkait dugaan miskomunikasi dalam proses penyidikan.

“Terutama karena CM adalah korban pelecehan seksual yang telah melapor ke Polres Lombok Utara dan prosesnya masih berjalan. Kami tegaskan bahwa SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) terakhir dari Polres Lombok Utara adalah SP2HP pengaduan, yang berarti belum cukup alat bukti dan belum dihentikan,” ujarnya.

Beredar informasi bahwa kasus ITE yang masih berjalan tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan. Yan Mangandar pun berharap demikian. Dia juga meminta Polda untuk menghentikan kasus UU ITE yang menjerat mahasiswi tersebut dengan alasan formil.

“Ketika kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan, sudah banyak kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Subdit V Siber,” kata Yan.

Salah satu kesalahan administrasi yang dilakukan penyidik adalah tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada terlapor yang kini berstatus tersangka, sejak SPDP dikeluarkan. Seharusnya, penyidik mengirimkan SPDP paling lambat 7 hari setelah menetapkan kasus tersebut naik ke tahap penyidikan.

“Paling lama 7 hari, kejaksaan, pelapor, dan terlapor wajib diberikan SPDP. Tapi sampai hari ini, klien kami belum pernah menerimanya. Padahal, kasus ini ditetapkan ke tahap penyidikan pada tanggal 25 September 2023. Ini adalah salah satu kesalahannya, dan masih banyak lagi yang kami rahasiakan. Hal ini akan menjadi strategi kami jika kasus ini tidak dihentikan. Bukan tidak mungkin kami akan menggunakan ranah praperadilan. Jadi, kami sangat berharap agar kasus (ITE) ini segera di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” tegasnya.

Sedangkan mengenai laporan dugaan kekerasan yang dilaporkan CM terlebih dahulu ke Polres Lombok Utara, Yan memastikan bahwa kasus tersebut tidak akan diselesaikan secara kekeluargaan atau restoratif justice (RJ).

“Kami tegaskan bahwa tidak akan ada RJ antara korban dengan pelaku pelecehan seksual. Tidak akan pernah ada RJ. Jadi, seandainya ada pihak tertentu atau oknum yang mengupayakan mediasi, tentu kami akan menolaknya,” ujarnya.

Dengan pernyataan tersebut, Yan mendorong Polres Lombok Utara untuk memproses kasus ini hingga tuntas. Dia yakin bahwa kasus dugaan pelecehan seksual ini akan menemukan titik terang.

“Dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini, ahli psikolog dan bahkan ahli pidana belum diperiksa. Jadi, kami sangat optimis bahwa kasus yang dilaporkan ke Polres Lombok Utara akan maju,” tandasnya.