SurabayaShri Hardjuno Wiwoho, mahasiswa Program Doktor Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), mendorong reformasi hukum terkait perampasan aset koruptor tanpa melalui tuntutan pidana.

Hardjuno menuturkan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia masih menghadapi hambatan, salah satunya terkait kesulitan dalam mengidentifikasi dan melacak aset hasil korupsi.

Oleh karena itu, dia mengusulkan penerapan perampasan aset tanpa tuntutan pidana (non-conviction based asset forfeiture) sebagai solusi untuk mempercepat pemulihan kerugian negara.

Menurutnya, konsep ini telah diterapkan di beberapa negara dan terbukti efektif dalam mengembalikan aset negara yang dirampas secara tidak sah oleh koruptor.

Demikian disampaikan Shri Hardjuno Wiwoho saat merilis hasil penelitiannya dengan judul “Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non- Conviction Based Asset Forfeiture)” di Kampus Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), Selasa (26/3).

Hardjuno menjelaskan bahwa pendekatan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelamatkan aset negara dengan lebih efisien, sambil tetap menjaga prinsip kepastian hukum.

Apalagi, kata dia, pemerintah Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) sejak tahun 2012.

Baca Juga: Aktivis Antikorupsi Apresiasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Namun, RUU tersebut hingga kini belum mengalami pembahasan oleh DPR, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta agar lembaga legislatif segera memprioritaskan pembahasannya.

Sementara itu, menurut data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah laporan terkait kejahatan keuangan yang diterima terus meningkat.

Oleh karena itu, penanggulangan tindak pidana korupsi dan pencucian uang memerlukan pendekatan yang luar biasa. Salah satu cara penanganan terhadap kejahatan tersebut adalah melakukan perampasan aset untuk memulihkan kondisi semula.

Saat ini, jelas Hardjuno, perampasan aset telah menjadi fokus global, sesuai dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Masyarakat global sepakat tentang pentingnya menyita aset dari hasil kejahatan tanpa melibatkan tuntutan pidana.

“Mekanisme perampasan aset tindak pidana dianggap sebagai norma dalam UNCAC, dengan tujuan mengoptimalkan upaya merampas aset hasil kejahatan tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana,” ungkap Hardjuno.

Hardjuno menegaskan konsep Perampasan Aset tanpa Pemidanaan atau yang dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah ide restitusi kerugian negara. Tujuannya adalah mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindak kejahatan tanpa perlu menghukum pidana terlebih dahulu terhadap pelakunya.

Adapun kategori aset yang dapat disita menggunakan metode NCB asset forfeiture melibatkan aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau diubah menjadi kekayaan pribadi, pihak lain, atau korporasi.

Hal ini menurutnya penting karena tindak pidana dengan motif ekonomi, seperti korupsi atau pencucian uang, dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.

Dia menguraikan konsep perampasan aset tanpa melibatkan tuntutan pidana merupakan bagian dari skema hukum yang memungkinkan aset negara yang diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana dapat disita dan dikembalikan kepada negara sebagai upaya pemulihan aset negara.

“Perampasan aset menjadi sangat penting mengingat pendekatan penegakan hukum di Indonesia yang menerapkan strategi follow the money atau penelusuran aliran dana untuk mengungkap tindak kejahatan,” katanya.

Menurut Hardjuno, salam konsep kepastian hukum yang diterapkan pada perampasan aset tanpa tuntutan pidana, prinsip utamanya adalah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang memiliki hak properti (right to property) melalui mekanisme recovery asset yang dilakukan oleh negara.

Jika aset tersebut diperoleh melalui tindakan pengayaan yang tidak adil atau unjust enrichment, negara berhak merampas aset tersebut tanpa melibatkan prosedur penuntutan dalam ranah hukum pidana. Sebagai gantinya, proses perampasan aset dilakukan melalui jalur hukum perdata.

“Jadi, model perampasan aset tanpa tuntutan pidana diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang kuat bagi masyarakat,” pungkasnya.