Optimisme Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat tampaknya terlalu berlebihan, jika berasumsi untuk menjadikan wilayah provinsi berbasis kepulauan ini sebagai daerah penghasil garam terbesar di Indonesia.

Meskipun demikian, optimisme tetap dikedepankan agar NTT bisa berandil dalam membantu mengurangi defisit neraca perdagangan nasional dengan meningkatkan produksi k garam yang sedang dikembangkan saat ini.

“Defisit neraca perdagangan Indonesia cukup lumayan, kami siap membantu mengurangi defisit lewat peningkatan produksi garam. Saya targetkan NTT mampu memproduksi 1,5 juta metrik ton untuk kebutuhan nasional, paling lambat hingga tahun 2025,” kata Viktor Laiskodat.

Kebutuhan garam nasional yang diimpor pada tahun 2019 mencapai sebanyak 3,7 juta metrik ton. “Saya ingin 2025 kita menghasilkan 1,5 juta metrik ton garam, sehingga bisa mengurangi defisit. Ini bisa menjadi sumbangan NTT mengurangi defisit perdagangan negara ini,” ujar politisi dari Partai NasDem itu.

Viktor kemudian meninjau lokasi produksi garam di sejumlah daerah seperti Kabupaten Malaka yang digarap PT Inti Daya Kencana dan Kabupaten Kupang oleh PT Timor Livestock Lestari. Potensi lahan garam di kedua kabupaten tersebut mencapai sekitar 8.000 hektare.

Jika 8.000 hektare itu dikelola dengan baik, maka akan menghasilkan 1,5 juta metrik ton garam. Kondisi inilah yang tampaknya membuat NTT akan menjadi daerah yang hebat, karena produksi garamnya.

Jumlah area garam tersebut belum termasuk dengan kawasan tambak garam lain seperti di Kabupaten Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Nagekeo, serta Rote Ndao.

Kini, tarik ulur pendirian pabrik garam industri mulai menemui titik temu setelah PT Garam (Persero) dan PT Cheetham Garam Indonesia, masing-masing mendapatkan luas areal lahan sekitar 400 hektare dan 50 hektare di NTT.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto, mengatakan lahan yang akan digarap oleh PT Garam berada di Kabupaten Kupang dan milik Cheetham berada di Kabupaten Nagekeo di Pulau Flores.

“Lahan seluas 400 hektare yang akan digarap PT Garam itu dapat diperluas hingga 7.000 hektare di seluruh wilayah Kabupaten Kupang. Skemanya, inti plasma karena ini tanah ulayat. Maka sekarang sedang dipastikan skema yang tepat agar tidak menimbulkan gesekan dengan masyarakat dan adat,” ujarnya.

Lahan yang akan digarap PT Garam merupakan proyek Kemenperin sejak 2012 yang terhambat. Lahan tersebut sudah terbentuk, tinggal menyelesaikan kesepakatan dengan masyarakat sekitar. Jika negosiasi berjalan lancar, maka produksinya bisa dimulai dari sekarang.

Adapun dari total 1.000 hektare yang dibutuhkan oleh Cheetham seluas 50 hektare sudah dapat dikembangkan dan saat ini sedang dalam tahap konstruksi. Pembangunan yang di lakukan dua perusahaan ini diharapkan dapat menstimulus masyarakat lokal memanfaatkan potensi yang ada.

Kadarnya tinggi

Secara keseluruhan total lahan potensial untuk garam industri di NTT mencapai 10.000 hektare dengan total produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Dengan iklim yang menyerupai Australia, produksi garam industri di NTT dapat mensubstitusi impor.

Direktur Utama PT Garam R Achmad Budiono mengatakan nilai investasi yang dibutuhkan untuk menggarap lahan 400 hektare dengan potensi produksi 60.000 ton per tahun sekitar Rp20 miliar. Lahan tersebut merupakan milik masyarakat dan berstatus tanah ulayat.

“Sesegera mungkin kami produksi, lahannya sudah jadi, tinggal menyelesaikan persoalan tanah ulayat. Untuk NTT seluruhnya untuk garam industri, karena garam yang dihasilkan kadar NaCl di atas 97 persen,” tuturnya.

Proses negosiasi dengan masyarakat akan dikawal oleh pemerintah daerah dan Kemenperin. Perusahaan berharap dapat menggarap seluruh lahan potensial di Kupang yang mencapai 7.000 hektare.