Tajukflores.com – Kali ini kita membahas perkawinan (kawing) adat Manggarai. Setiap masyarakat memiliki tradisi dan norma yang mengatur perkawinan sesuai dengan konteks sosial, budaya, historis, dan hukum yang berlaku di komunitas mereka.

Dalam masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggarai Timur (NTT) dikenal tiga jenis perkawinan yang lazim terjadi yaitu kawing cangkang, kawing cako, dan kawing tungku.

Selain itu dikenal beberapa jenis perkawinan yang tidak lazim atau yang bersifat khusus seperti kawing lili, kawing tinu lalo, kawing ligéng, dan sebagainya.

Berikut penjelasan singkatnya:

  1. Kawing Cangkang

Kawing cangkang merupakan salah satu jenis perkawinan yang lazim terjadi di Manggarai. Istilah “kawing” diambil dari kata “kawin” yang berarti pernikahan menurut agama Katolik, sementara “cangkang” merujuk pada orang asing atau tamu. Artinya, kawing cangkang adalah pernikahan antara individu yang sebelumnya tidak memiliki hubungan keluarga.

Perkawinan ini terjadi antara dua keluarga besar yang sebelumnya tidak memiliki hubungan kekerabatan, dan tujuannya adalah untuk membentuk hubungan keluarga baru. Dengan pernikahan ini, hubungan kekerabatan diperluas dan nama suku tersebut menjadi lebih dikenal di antara suku-suku lainnya.

Dalam pelaksanaannya, kawing cangkang biasanya diawali dengan serangkaian prosedur adat yang harus diikuti dengan cermat, dimulai dari tahap permohonan pernikahan hingga pengantaran pengantin wanita ke rumah pengantin pria.

Proses adat ini harus dilalui tanpa ada tahapan yang dapat dilewati, meskipun pembayaran biaya belum lunas. Dalam beberapa kasus, jika pembayaran belum dapat dilunasi, ada upaya untuk memberi kompensasi atau bahkan penyuapan untuk meredam tuntutan pembayaran yang terlalu berat dari pihak keluarga lainnya.

Perkawinan cangkang juga sering diidentifikasi dengan ungkapan “laki pé’ang” atau “wai pé’ang,” yang artinya pernikahan di luar suku atau antar suku. Hal ini membuka jalan untuk membentuk hubungan keluarga besar yang lebih luas.

Kawin cangkang, di samping aspek ritualnya, juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terjalin dalam masyarakat Manggarai.

  1. Kawing Cako

Kawing cako merupakan salah satu jenis perkawinan yang tidak lazim di Manggarai. Istilah “cako” mengacu pada hubungan perkawinan antara anak dari adik laki-laki dengan anak dari kakak laki-laki, atau antara anak dari adik perempuan dengan anak dari kakak perempuan.

Ini menciptakan hubungan antara anak saudara sepupu dalam garis patrilineal atau sesama keluarga kerabat anak wina (penerima isteri).

Kawing cako dibagi menjadi beberapa jenis:

  1. Kawing Cako Cama Woé/Salang: Perkawinan antara anak laki-laki dan anak perempuan dari anak wina (penerima perempuan) atau antara keturunan adik kakak perempuan. Biasanya, perkawinan ini tidak dianggap bermasalah karena terjadi antara dua keluarga besar yang berbeda, yaitu keturunan klan suami dari kakak perempuan dan keturunan dari suami dari adik perempuan.
  2. Kawing Cako Cama Wa’u: Perkawinan ini bertujuan memperkokoh hubungan dalam keluarga besar dan mencegah pembagian harta keluarga besar ke suku lain. Biasanya, terjadi antara anak-anak dari keturunan adik kakak laki-laki.
  3. Kawing Cako Cama Asé Kaé: Jenis perkawinan ini kurang disukai karena mengganggu peran sosial sebagai anak rona atau anak wina dalam keluarga besar. Jika sebelumnya, keluarga besar berperan sebagai anak rona saja, dengan kawin cako, mereka terbagi menjadi dua kelompok peran, yaitu anak rona dan anak wina. Hal yang sama berlaku jika sebelumnya mereka hanya berperan sebagai anak wina.
  4. Kawing Cako Cama Tau/Biké: Biasanya, terjadi setelah 3 hingga 5 turunan. Ini sering disebut sebagai pecahnya keluarga besar karena terjadinya perpecahan atau pembagian dalam suatu kelompok.

Ada aturan terkait kawing cako, di mana perkawinan di dalam satu panga (klan) dianggap sebagai pelanggaran besar kecuali jika pernikahan itu terjadi dalam lapisan keturunan yang sangat jauh, minimal lima lapisan turunan. Namun, perkawinan antara dua panga (klan) meskipun memiliki moyang (nenek moyang) yang sama dianggap lebih dapat diterima, meskipun mereka adalah panga asé kaé.

Kawing cako juga melibatkan praktik pembunuhan seekor kerbau yang disebut kaba lémbor cako atau kaba tura. Pembunuhan ini dimaksudkan untuk memberitahu Tuhan, nenek moyang, dan masyarakat tentang terjadinya perkawinan cako. Itu juga menyampaikan perubahan dalam hubungan keluarga besar.

Hal ini juga menciptakan perubahan dalam penghormatan terhadap hubungan keluarga, seperti perubahan panggilan kepada ibu dan ayah dalam keluarga.

Selain itu, perkawinan ini juga menciptakan pembagian peran dan hubungan yang berbeda dalam keluarga besar, mengubah hubungan biologis menjadi hubungan perkawinan yang diperkuat.

  1. Kawing Tungku

Ini adalah jenis perkawinan yang menghubungkan kembali relasi yang terputus, menyegarkan, dan memperkuat hubungan perkawinan yang sebelumnya telah terjadi. Ini adalah bentuk perkawinan cross-cousin, yaitu antara anak laki-laki dari keluarga anak wina dengan anak perempuan dari keluarga anak rona di Manggarai.

Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan antara kedua keluarga dan mengembalikan hubungan yang terputus karena pernikahan sebelumnya.

Perkawinan tungku berfungsi untuk mempertahankan hubungan kekerabatan woé nelu, yaitu hubungan anak rona dan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan sebelumnya.

Dalam adat Manggarai, perkawinan tidak hanya mengikat suami dan istri, tetapi juga menciptakan relasi kekerabatan baru antara keluarga besar suami dan keluarga besar istri. Dalam relasi tersebut, keluarga besar mempelai laki-laki berkedudukan sebagai anak wina dan keluarga besar mempelai perempuan sebagai anak rona.

Kawing tungku terjadi antara anak laki-laki atau cucu dari pasangan suami istri sebelumnya dengan anak atau cucu perempuan dari saudara laki-laki. Perkawinan ini tidak menciptakan relasi kekerabatan yang baru karena sudah ada hubungan kekerabatan sebelumnya. Hal ini juga sering disebut sebagai “perkawinan inang olo, woté musi” yang menunjukkan bahwa sebelum pernikahan yang terjadi saat ini, sudah ada perkawinan sebelumnya antara anggota keluarga.

Ada beberapa jenis kawin tungku yang dikenal dalam budaya Manggarai:

  1. Tungku Cu atau Tungku Dungka: Perkawinan antara anak perempuan dari saudara laki-laki dengan anak laki-laki dari saudara perempuan sekandungan. Juga dikenal sebagai tungku dungka.
  2. Tungku Néténg Nara atau Tungku Canggot: Perkawinan antara anak laki-laki dari saudara sepupu perempuan dengan anak perempuan dari saudara sepupu laki-laki.
  3. Tungku Anak Rona Musi: Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berasal dari anak rona perdana dari mama kandungnya.
  4. Tungku Wing Dué dan Tungku Dondot: Tungku Wing Dué terjadi antara anak laki-laki dari saudari perempuan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki yang tidak sekandungan tetapi berasal dari bapa yang sama. Tungku Dondot adalah jenis kawin tungku yang terjadi berulang-ulang karena sudah pernah terjadi sebelumnya.

Kawing Tungku memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menghidupkan kembali hubungan kekerabatan yang terputus serta memperkuat ikatan antara keluarga besar dalam budaya Manggarai.

  1. Kawing Lili Luang

Atau kawin Levirat merupakan perkawinan antara seorang pria dengan janda yang ditinggalkan oleh kakak atau adiknya yang telah meninggal. Dalam budaya Manggarai, ini adalah bentuk dari praktik Levirat, di mana istri menikahi adik atau kakak dari suaminya yang telah meninggal untuk memelihara janda dan anak-anaknya agar tidak melarat dalam hidupnya.

Tujuan dari kawin lili luang adalah untuk menjaga kehidupan janda dan anak-anaknya serta memastikan agar harta warisan yang ditinggalkan oleh suami yang meninggal tidak jatuh ke tangan orang lain selain keluarganya sendiri.

Dalam perkawinan ini, sering kali digunakan ungkapan: “manga ata laga cicing agu ciwal uma” yang bermakna bahwa ada seseorang yang bertanggung jawab untuk memberikan dukungan dan menjaga kehidupan dari perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya yang telah meninggal.

Perkawinan jenis ini memberikan ruang untuk poligami di Manggarai karena dapat dilakukan oleh lelaki yang masih muda dan juga lelaki yang sudah menikah. Namun, tidak ada prosedur adat yang wajib dilakukan untuk perkawinan ini.

Namun, jika perkawinan lili luang terjadi antara janda dan lelaki yang masih muda, terkadang prosedur adat tetap ditempuh. Pihak lelaki wajib memberitahu anak rona bahwa si janda akan dinikahi adik dari almarhum suaminya. Bersamaan dengan itu, mereka menyerahkan seekor kuda sebagai tanda pengganti wajah almarhum.

Dalam beberapa kasus, janda yang ditinggalkan suaminya tidak ingin menikahi kakak atau adik dari suaminya yang telah meninggal. Dia ingin kembali ke keluarga orangtuanya.