Dalam situasi ini, sebelum janda kembali, keluarga orangtuanya harus memberikan babi kepada keluarga suaminya yang telah meninggal sebagai tanda bahwa janda itu kembali menjadi gadis dalam keluarga mereka. Ini menunjukkan bahwa dia tidak lagi dianggap milik keluarga suaminya tetapi kembali ke keluarga orangtuanya.

Ada dua alasan yang menyebabkan seorang janda kembali kepada keluarga orang tuanya:

  1. Kakak atau adik dari mantan suaminya tidak mau menikahi janda tersebut. Keluarga mantan suami kemudian mengembalikan si janda kepada keluarga orangtuanya.
  2. Keluarga si janda secara resmi meminta agar janda dikembalikan kepada mereka dari keluarga besar mantan suaminya.

Dalam kedua kasus tersebut, proses pengembalian si janda disertai dengan pemberian simbolis (seperti seekor kuda atau babi) sebagai tanda dan bukti pembebasan dari keterikatan terhadap keluarga mantan suami atau penarikan kembali anak mereka, yaitu si janda. Proses ini melibatkan acara yang disebut “welu” yang merupakan bagian dari tradisi dan tata cara adat di Manggarai.

  1. Kawing Tinu Lalo

Kawing Tinu Lalo adalah sebuah bentuk perkawinan yang bertujuan untuk memelihara dan merawat anak yang ditinggalkan oleh ibunya. Proses perkawinan ini terjadi ketika istri meninggal dunia, di mana suami atau duda menikahi adik atau kakak dari istrinya yang telah meninggal guna memberikan perlindungan dan perawatan kepada anak-anak yang ditinggalkan oleh ibunya.

Melalui perkawinan ini, anak-anak tidak akan merasa asing karena ibu tirinya adalah saudara kandung dari ibu kandung mereka. Kehadiran seorang ibu baru dalam kehidupan anak-anak dianggap penting secara emosional. Selain memastikan perlindungan dan perawatan anak-anak, kawing tinu lalo juga bertujuan untuk menjaga agar harta warisan yang ditinggalkan oleh ibu sebelumnya tidak jatuh ke tangan wanita lain.

Dalam bahasa dan adat Suku Rongga, perkawinan ini disebut sebagai polu halo. Praktik ini merupakan bentuk dari sororat, yaitu perkawinan antara seorang duda dengan saudara kandung dari bekas istrinya yang telah meninggal dunia. Dalam masyarakat Manggarai, perkawinan ini sangat dianggap penting untuk keberlangsungan hidup anak-anak yang ditinggalkan oleh ibunya yang telah meninggal.

Perkawinan tinu lalo atau polu halo sering kali disebut sebagai “perkawinan ganti tikar” karena pada dasarnya menggantikan posisi istri dari suami tersebut. Dalam tata cara adat Manggarai, kata “loce” merujuk pada istri atau suami. Dalam ungkapan seperti “lage loce toko de rona” secara etimologis berarti melewati tikar tidur sang suami, yang menandakan bahwa istri telah berhubungan dengan lelaki lain.

Proses perkawinan tinu lalo biasanya dilakukan dengan sederhana, seringkali hanya melalui penyerahan gelang dari ibu baru kepada anak-anak yang ditinggalkan. Saat itu, ibu baru akan mengatakan kepada anak-anak bahwa dia adalah ibu baru mereka dan bukan ibu kandung mereka yang telah meninggal. Pernyataan ini mencerminkan komitmen ibu baru untuk memelihara dan merawat anak-anak tersebut.

Kawing tinu lalo juga melibatkan pernyataan komitmen untuk memberikan perlindungan, pertolongan, dan jaminan masa depan bagi anak-anak yang ditinggalkan oleh ibunya. Jika suatu saat ibu baru tidak mampu merawat mereka dengan baik, anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dan perawatan dari anggota keluarga lain seperti nenek atau saudara dari ibu atau bapak.

  1. Kawing Duluk

Kawing duluk adalah bentuk perkawinan di mana seorang suami memiliki dua istri yang merupakan adik dan kakak secara bersamaan. Jenis perkawinan ini sering terjadi ketika istri pertama dianggap memiliki cacat, kekurangan, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau tuntutan suami.

Beberapa alasan yang mendasari perkawinan ini meliputi keadaan di mana istri pertama sering sakit, tidak mampu memberikan keturunan, atau tidak mampu melayani kebutuhan suami dan keluarganya.

Kawing duluk umumnya terjadi ketika adik dari istri tinggal serumah dan memiliki hubungan intim dengan suami, sehingga suami kemudian memutuskan untuk menikahi adik istri pertamanya.

Proses perkawinan ini biasanya tidak melibatkan prosedur adat tertentu. Hal ini dimulai dengan meminta adik istri untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga kakaknya, dan kemudian, dengan cara adat, adik istri menjadi istri kedua dengan tujuan membantu meringankan beban kakaknya.

Kawing duluk juga dikenal dengan ungkapan “lobo pa’a” yang secara harfiah berarti “di atas paha.” Istilah ini dipilih karena terjadi dengan perempuan yang ada di hadapan langsung suaminya, sehingga membuatnya mudah diakses oleh suami.

Dalam konteks ini, perkawinan ini tidak mengikuti prosedur adat yang umumnya berlaku. Semuanya dilakukan secara singkat dan langsung tanpa prosesi formal karena alasan bahwa kedua belah pihak sudah hidup bersama.

  1. Kawing Ligéng kabo

Kawing ligéng kabo merujuk pada perkawinan yang terjadi ketika seorang duda mengambil anak dari saudari isterinya yang telah meninggal. Namun, jenis perkawinan ini sangat jarang terjadi atau bahkan mungkin tidak pernah terjadi dalam praktiknya.

  1. Toko Tondol/toko rené

Kawing toko tondol merujuk pada perkawinan sumbang yang dilarang dalam hukum adat. Jenis perkawinan ini terjadi ketika dua saudara lelaki kakak menikahi dua saudari perempuan yang juga berada dalam hubungan kakak beradik.

Praktik perkawinan semacam ini dilarang karena tujuannya bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam budaya Manggarai yang bertujuan untuk menciptakan relasi kekerabatan baru agar keluarga menjadi semakin besar dan berkembang.

Dalam kawing toko tondol, tidak terjadi penambahan keluarga baru karena pernikahan tersebut tidak mengikatkan dua keluarga yang berbeda.

Penting untuk dicatat bahwa di dalam budaya Manggarai, terdapat keyakinan bahwa pelanggaran terhadap aturan adat dalam perkawinan dapat menyebabkan kemarahan nenek moyang dan berpotensi membawa bencana seperti sakit, kegagalan panen, atau punahnya hewan. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan yang melanggar aturan adat dianggap dapat membawa konsekuensi negatif bagi masyarakatnya.

  1. Kawing Roko/Wéndo

Kawing roko/réndo merujuk pada jenis perkawinan yang terjadi ketika seorang pria menculik atau melarikan seorang wanita untuk dijadikan isteri tanpa mengikuti prosedur adat atau tanpa restu dari orang tua si wanita. Terdapat dua jenis perkawinan roko: Roko réjé dan roko tako.

  • Roko réjé adalah perkawinan yang dilakukan dengan persetujuan kedua calon suami-isteri tetapi tidak mendapat restu dari salah satu atau kedua keluarga besar dari suami dan isteri. Biasanya, ada pengetahuan pura-pura dari salah satu orang tua tentang rencana penculikan.
  • Roko tako terjadi ketika orang tua si wanita tidak menyetujui pernikahan tersebut. Meskipun demikian, pria yang sangat mencintai wanita tersebut menculiknya dan menikahinya secara bertanggung jawab. Dalam hal ini, pernikahan dilakukan dengan menculik calon isteri karena tidak mendapat restu dari orang tua.
  1. Kawing Mendi Oné

Kawing mendi oné adalah perkawinan di mana seorang pria tinggal di rumah orang tua isterinya dan berabdi kepada orang tua tersebut karena tidak mampu membayar mahar atau belis perkawinan sesuai hukum adat.

Dalam kasus ini, si pria tidak mampu membayar belis yang ditentukan atau tidak mampu melunasi belis pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, si pria bekerja untuk mertuanya dan hasil usahanya juga untuk orang tua isterinya. Ini mirip dengan perkawinan mengabdi (dienhuwelijk).

Dalam perkembangannya, istilah “mendi oné” diganti dengan “anak oné”, di mana si pria dianggap sebagai anak angkat. Dalam beberapa kasus, pasangan tersebut pergi melarikan diri tanpa pemberitahuan kepada orang tua si wanita.

Dalam hal ini, pria akan dikenai hukuman dengan mempersembahkan seekor kuda serta menyerahkan hak-hak atas isterinya kepada orang tua wanita.

  1. Kawing Pangkang

Kawing pangkang adalah jenis perkawinan yang dimulai dengan membawa barang bukti cinta dari pihak pria kepada pihak wanita yang masih di bawah umur atau belum siap menikah.

Biasanya, ini terjadi ketika si wanita masih kecil atau masih bersekolah. Barang bukti cinta itu, biasanya seekor kuda atau kerbau, menjadi tanda cinta dan melarang si wanita untuk menerima laki-laki lain. Penyerahan ini juga merupakan kesepakatan kedua keluarga untuk perkawinan tersebut.

Jika pernikahan terjadi, kerbau atau kuda yang dibawa waktu pangkang akan dihitung sebagai bagian dari mahar atau belis perkawinan. Jika salah satu pihak tidak setia pada kesepakatan atau menolak menikahi pihak lain, maka barang bukti cinta tersebut tidak akan dikembalikan.

Di sisi lain, jika pihak wanita menolak menikah, mereka wajib mengembalikan kerbau atau kuda kepada pihak pria. Pernikahan resmi biasanya terjadi saat si wanita mencapai usia dewasa.

Catatan:

Artikel ini disadur dari buku “Perkawinan dalam Masyarakat Manggarai: Budaya, Keyakinan, dan Praktiknya” karya Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A. dan Dr. Fransiska Widyawati, M. Hum