Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan leading sector dalam perekonomian Indonesia. UMKM Indonesia berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Mereka menyumbang hingga Rp8.573,9 triliun (57,8 persen) ke PDB Indonesia yang pada 2018 mencapai Rp14.838,3 triliun.
Bahkan, UMKM kini mempekerjakan sekitar 117 juta (97 persen) dari total tenaga kerja Indonesia, dan menghadirkan 64 juta unit usaha, atau 99,99% dari total unit usaha di Indonesia.
Maka, dalam UU Cipta Kerja, UMKM kini mendapat perhatian khusus, kalau tidak bisa disebut prioritas. Ketentuan hukum dalam UU baru ini dirancang untuk membantu mengurai belitan persoalan laten di kalangan UMKM, seperti permodalan, kesulitan perizinan, pemasaran, basis data, dan akses terhadap proyek-proyek pemerintah.
Dalam konsideran “menimbang” pada UU Cipta Kerja itu disebutkan bahwa pemberian kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM diletakkan pada susunan terdepan bersama-sama dengan koperasi, baru kemudian disusul dengan peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Ada bab khusus yang menjabarkan sejumlah kemudahan untuk UMKM. Bab V, misalnya, menjabarkan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan yang diberikan terhadap UMKM dan koperasi. Khusus bagi UMKM normanya membentang dari Pasal 87 hingga Pasal 104. Bab V ada 17 pasal sebagai karpet merah untuk UMKM. Selain itu sejumlah kemudahan lainnya juga terdapat pada pasal tentang Jaminan Produk Halal, Perseroan Terbatas, Ketenagakerjaan, dan lain-lain.
Perhatian terhadap UMKM di mulai dengan mengubah Pasal 6 UU nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM yang mengatur kriteria. Dalam ketentuan lama, kriteria UMKM hanya memuat kekayaan bersih. Sedangkan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ada di UU 20/2008 tentang UMKM.
Salah satunya terlihat dalam di 87 butir (1) yang memperbarui ketentuan sebelumnya dengan memuat kriteria UMKM yang terkait modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi. Selanjutnya, kriteria UMKM bisa memuat insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
Sebagai perbandingan, dalam UU tentang UMKM sebelumnya, pemerintah merincikan kriteria UMKM. Detailnya, usaha mikro memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Selanjutnya, kriteria usaha kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai Rp500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar.
Sedangkan, kriteria usaha menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta hingga Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar.
Perluasan kriteria ini diharapkan makin banyak unit usaha yang bisa dikategorikan sebagai UMKM, dan dengan demikian urusan perizinannya dipermudah.