Jakarta – Isu pemecatan Novel Baswedan, Yudi Purnomo dan puluhan pegawai KPK menyeruak setelah Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyelenggarakan test ASN (Aparatur Sipil Negara) bagi ribuan anggota KPK. Salah satu tesnya adalah tes wawasan kebangsaan (TWK).
Kabarnya pula, Novel Baswedan dan puluhan anggota KPK lainnya dikabarkan tidak lolos tes. Kenapa tidak lolos tes? Apakah ada penyingkiran terhadap Novel dkk? Atau memang negara sudah melakukan “profilling” terhadap anggota-anggota KPK yang tidak lolos test utamanya dari pengamatan intelijen?
Dalam tes wawasan kebangsaan ada tiga aspek yang harus dipenuhi: pertama, aspek integritas, kedua aspek netralitas ASN dan ketiga anti radikalisme.
Tes yang diadakan BKN ini melibatkan lima instansi pemerintah lainnya yaitu: Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Apakah Novel Baswedan dkk tidak lolos atas dasar penilaian ketiga aspek tersebut? Untuk menganalisa soal ini ada baiknya kita lihat jatuh bangunnya KPK di masa lalu dan keadaan seperti saat ini.
KPK dibentuk masa pemerintahan Megawati di tahun 2002. Lembaga ini berbentuk ad hoc yang artinya didirikan untuk satu tujuan dan dalam waktu tertentu saja. Saat itu lembaga kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah korupsi bahkan di tubuh mereka sendiri.
Awalnya KPK bertugas sangat baik, cepat dan mampu membongkar kasus kasus besar korupsi lalu mendapatkan apresiasi masyarakat luas. Namun belakangan banyak sekali kepentingan-kepentingan politik yang mengintervensi keadaan di dalam KPK ditambah drama-drama yang ditambahkan dalam proses penangkapan.
Sehingga apa yang dilakukan KPK lebih pada “Drama Korea” ketimbang upaya menyeluruh membereskan kasus korupsi. Di masa Megawati KPK bekerja secara konsisten namun setelah SBY berkuasa barulah campur tangan politik bermain saling berkelindan di internal KPK.
Masuknya kekuasaan secara jelas dalam KPK sebenarnya sudah mulai dari kasus Cicak-Buaya tahun 2009 yang diikuti rekayasa kriminalisasi Antasari Azhar oleh rezim SBY. Adanya tuduhan dari pengacara OC Kaligis bahwa ada aliran dana masuk kepada komisioner KPK salah satunya Chandra Hamzah dalam kasus Masaro.
Testimoni dari Antasari Azhar juga menyebutkan bahwa adanya oknum KPK yang menerima aliran dana Masaro namun kasus ini di deponering oleh kejaksaan diduga deponering ini ada kesan bau tawar menawar antara rezim SBY dengan KPK untuk menjatuhkan Antasari.
Di sisi lain Antasari Azhar menyeret besan SBY yang bernama Aulia Pohan dalam kasus dana korupsi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai 100 milyar rupiah. Antasari kemudian dijebak dalam pusaran kasus yang melibatkan caddy golf dan adanya penembakan kepada Nasrudin Zulkarnaen yang membawa Antasari ke penjara dan menjatuhkan Antasari dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
Sebelum dijatuhkan Antasari sedang menangani kasus korupsi IT KPU Pemilu 2009, yang menurut Antasari salah satu putera SBY bernama Ibas terlibat dalam kasus ini dan bila ini terbongkar maka kejahatan dan kecurangan Pemilu 2009 akan muncul ke permukaan publik untuk itulah Antasari harus dihabisi.
Ironisnya, digulungnya Antasari diduga melibatkan Bambang S Widjojanto dan Abraham Samad yang kemudian duduk dalam komisioner baru KPK. Hubungan dekat antara Bambang S Widjojanto dengan SBY terkuak setelah kasus rebutan Demokrat muncul dimana Bambang Widjojanto menjadi pengacara Demokrat kubu AHY.
Masa kepemimpinan Abraham Samad dibuka dengan kasus Anas Urbaningrum banyak orang menduga kasus Anas adalah pesanan SBY untuk menjegal Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Bocornya sprindik Anas diduga adanya indikasi permainan antara SBY dengan komisioner KPK.
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga diduga melindungi Ibas dalam kasus Nazarudin dan menyebutnya sebagai “teman” di depan saksi kunci Yulianis.
Jelang Pemilu 2014 Abraham Samad mulai cari muka dengan kubu Jokowi melakukan tawar menawar politik dengan petinggi PDIP untuk menjadi calon wakil presiden RI namun hal ini kemudian di depan publik tidak diakuinya, sungguh ironis ketika sedang menjabat Ketua KPK justru mengincar jabatan Wapres.
Setelah dirinya gagal menjadi cawapres dan kabinet Jokowi terbentuk ia sempat-sempatnya mengancam “Kalau Abraham jadi Menteri nanti siapa yang menangkap Menteri dan Presiden?” kata Abraham di sela sela seminar nasional Auditorium UNS Solo (14/8/2014). Sebenarnya ini pesan terselubung bahwa Presiden bisa ditangkap KPK lewat rekayasa kasus.
Lalu muncullah kasus Budi Gunawan (BG) yang digagalkan oleh Abraham Samad dan Bambang S Widjojanto untuk jadi Kapolri, sprindik sengaja dibocorkan dan muncul di majalah Tempo, lalu publik heboh. DPR membatalkan persetujuan BG menjadi Kapolri dan meminta Presiden mengajukan nama baru.