Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam seorang guru SD, berinisial MS di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang memberikan sanksi memasukan sampah ke mulut belasan peserta didik yang dianggap bersalah karena berisik.

“Sanksi semacam ini jelas sangat tidak mendidik, membahayakan kesehatan peserta didik dan merupakan salah satu bentuk kekerasan,” kata Komisioner KPAI, Retno Listyarti dalam keterangan tertulis, Minggu (30/1).

Berdasarkan informasi yang dihimpun KPAI, kasus ini viral di media sosial setelah MS kedapatan menghukum belasan muridnya dengan memberikan makan sampah plastik. MS menghukum sebanyak 16 murid SD lantaran dianggap berisik. Berdasarkan pengakuan para korban, sampah itu diambil dari dalam bak sampah di depan kelas.

Peristiwa tersebut terjadi di kelas 3A. Waktu itu, siswa di kelasnya ribut karena guru kelasnya belum datang. Oknum guru MS, yang sedang mengajar di kelas 4, mendatangi kelas 3A. Ia mengimbau kepada murid agar tidak ribut. Karena siswa ribut lagi, MS mendatangi kembali kelas 3A sambil menutup pintu kelas.

Tak lama, MS mengambil sampah plastik bekas bungkus makanan kering jajanan anak-anak dan memasukan sampah-sampah tersebut ke mulut ke-16 siswa kelas 3A.

Baca Juga:  Buntut Wisata Halal, Menpar Copot Dirut BOP Labuan Bajo Shana Fatina

“Korban merasa trauma akibat kejadian itu, sejumlah siswa mengalami trauma dan takut untuk masuk sekolah,” ujar Retno.

Menurut Retno, pihak sekolah mengaku telah menegur oknum guru tersebut. Sekolah juga sudah melakukan mediasi dengan para orangtua dan pihak Dinas Pendidikan Buton juga mengaku sudah menemui pihak sekolah dan kemudian membebas tugaskan oknum guru tersebut untuk sementara.

“Dinas Pendidikan Buton masih menunggu perkembangan kejadian ini. Terlebih lagi, kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian oleh salah seorang keluarga siswa,” katanya.

Sementara, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Buton AKP Aslim menerangkan, polisi sudah menerima laporan dari salah satu keluarga korban. Polisi juga telah melakukan pemeriksaan terhadap korban dan orangtuanya. Selanjutnya akan memeriksa para saksi, termasuk anak-anak. Saksi-saksi yang dipanggil yaitu dari pihak sekolah dan juga murid lain yang menjadi korban dari MS.

Retno menambahkan, KPAI mendorong Satuan Pendidikan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Buton untuk menggunakan ketentuan/mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan yang berpedoman pada Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulan Kekerasan di satuan pendidikan.

Baca Juga:  SP IMPPI Sebut Pulau Batam Wilayah Strategis untuk Sindikat Perdagangan Orang

Dalam Permendikbud tersebut, ada panduan untuk satuan pendidikan membangun sistem pencegahan kekerasan, yaitu dengan membentuk satgas anti kekerasan yang tidak hanya melibatkan perwakilan warga sekolah tapi juga stake holder terkait seperti Babinsa, Polsek terdekat, RT/RW, dan lain-lain.

Selain itu, sekolah juga diwajibkan memiliki sistem pengaduan, dimana pengaduan tidak tunggal hanya ke sekolah, tetapi bisa juga melibatkan KPAD setempat, P2TP2A, dan sebagainya.

“Permendikbud ini juga memandu tentang penanggulanan jika terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, ada penindakan karena ada ketentuan sanksi bagi pelaku kekerasan,” jelas dia.

KPAI juga mendorong sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Buton menghormati orangtua yang melakukan laporan ke kepolisian, karena itu haknya. Hak anak pelapor harus tetap dipenuhi dan dilindungi.

“Anak pelapor termasuk anak-anak lain yang mengalami penghukuman makan sampah, wajib di asesmen psikologi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Buton dan selanjutnya mendapatkan pendampingan psikologis agar bisa pulih seperti sediakala dan tidak takut datang ke sekolah,” pungkas Retno.