Aktivis HAM asal Papua Natalius Pigai mengatakan dirinya tidak percaya pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang berkaitan dengan ideologi maut, yakni takfiri dan thaghut. Menurut Natalius, yang diajarkan Ponpes Al Zaytun ialah untuk membangun peradaban Islam kontekstual, yakni mengajarkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan toleransi.
Natalius mengatakan, pandangannya itu disampaikannya dalam konteks forum eksternum (keyakinannya tidak
pada hak untuk menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan), bukan forum internum.
“Dalam pemahaman (saya) dan orang yang sedikit mengerti soal itu, sangat tidak mungkin Panji Gumilang dengan Al Zaytun-nya memiliki relasi dengan yang kuat dengan orang yang menganut doktrin takfiriah, doktrin maut. Sangat tidak mungkin,” kata Natalius dalam sebuah diskusi dengan tajuk: Rekaya Kasus Al Zaytun, Menjadi Kepentingan Siapa?, seperti dikutip pada Senin (31/7).
Natalius menegaskan, seseorang yang berorientasi pada pendirian sebuah negara khilafah, sudah pasti akan dimasukkan doktrin maut, yang disebut dengan takfiriah.
Menurut dia, doktrin takfiriah sangat tidak mungkin dan mustahil memiliki relasi kuat dengan negara, Pancasila, UUD 1945, apalagi berbicara kebhinekaan.
“Doktrin takfiriah itu sangat tidak mungkin memiliki relasi dengan Yahudi, apalagi menyanyi lagu Yahudi. Doktrin takfiriah itu, tentara dan polisi adalah musuh yang harus dibunuh,” kata mantan Komisoner Komnas HAM RI ini.
Natalius mengaku cukup memahami doktrin takfiriah lantaran pernah berdiskusi dengan Ali Imron, salah satu pelaku bom Bali I yang kini membantu pemerintah Indonesia dalam program deradikalisasi.
“Jadi kalau ketika kotbah-kotbah, pidato-pidato Panji Gumilang memiliki relasi dengan tentara, Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan), HM Priyono (mantan Kepala BIN), mengucapkan Pancasila, Soekarno, mazhab Soekarno, mengagung-agungkan Indonesia, kami yang mengerti dan memahami orang-orang yang menginginkan negara khilafah, itu sangat tidak mungkin dan mustahil,” pungkasnya.
Berbeda dengan Natalius, Ken Setiawan selaku pendiri NII Center menilai Panji Gumilang melakukan taqiyah (menyembunyikan sesuatu yang sesungguhnya di hadapan publik, termasuk menyembunyikan keimanan). Hal ini berkaitan dengan mazhab Soekarno, yang dijadikan ideologi oleh Panji Gumilang.