Jakarta – Guru Besar Agronomi dan Holtikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Mochamad Hasjim Bintoro mendukung pemanfaatan sagu sebagai alternatif pengganti nasi di tengah mahalnya harga beras. Apalagi, menurutnya, Indonesia memiliki lahan sagu yang luas sehingga bisa mengurangi ketergantungan impor beras.
“Indonesia memiliki lahan sagu 5,5 juta hektare yang berpotensi menghasilkan 2 ton pati sagu per hektarnya. Jika saja 10 persen masyarakat Indonesia mengganti konsumsi beras dengan beras sagu, maka Indonesia tidak perlu lagi impor beras,” katanya dalam dialog dengan Pro3 RRI, dikutip Kamis (28/3).
Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong pemanfaatan sagu sebagai alternatif pengganti nasi di tengah mahalnya harga beras di Indonesia.
Menurut Menperin, sagu memiliki potensi besar yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan pokok untuk mengantikan beras.
Hasjim mengatakan, modifikasi olahan sagu menjadi beras bahkan sudah dilakukan sejak lama dan salah satu pabriknya ada di Tanggerang.
Sayangnya, sosialisasi dan informasi beras sagu nyaris tak terdengar karena kalah dengan propaganda beras. Sehingga masyarakat belum banyak yang tahu kalau ada beras berbahan dasar sagu.
“Bentuknya seperti beras, dimasak juga hasilnya seperti nasi,” katanya.
Kendala lain yang dihadapi dalam pembuatan beras dari sagu ini, sebut Hasjim, biayanya yang masih mahal. Sehingga harga beras sagu juga menjadi mahal ditingkat konsumen.
Hal ini, katanya, disebabkan biaya transportasi bahan sagu dari daerah penghasil sagu ke tempat pengolahan atau pabriknya mahal. “Seperti dari Papua ke Tanggerang,” katanya.
Harga beras sagu saat ini, baik di market place maupun di pasar modern berkisar rata-rata Rp150.000 per lima kilogram. Sementara itu, harga beras beras premium ukuran lima kilogram paling mahal saat ini Rp87.000.
Hasjim juga mengatakan, dibandingkan dengan beras, sagu lebih sehat.nPasalnya kandungan nutrisi dalam sagu sama amannya dengan bahan makanan beras merah, ubi jalar, dan gandum. Hal itu disebabkan sagu tidak mengandung kadar gula yang berbahaya bagi tubuh.
Hasjim berharap pemerintah lebih masif lagi melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat soal penganekaragaman pangan pengganti beras. Indonesia, katanya, memiliki beraneka ragam bahan pangan lokal dengan berbagai macam olahannya yang sangat potensi menggantikan beras.
“Bisa dimulai juga dengan mengirimkan bahan makanan berbahan dasar sagu, seperti beras sagu, sebagai bantuan bencana. Jangan lagi beras dan mie instan yang berbahan dasar gandum. Jadi propaganda beras bisa dikurangi dari upaya ini dulu ujicobanya,” ucapnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.