Kedua, aturan tentang parpol yang diberikan hak untuk mengusulkan paslon pun diubah. Kalau sebelumnya berdasarkan Putusan MK semua parpol yang memperoleh suara sah di pemilu boleh mengusulkan paslon, tetapi sekarang hak itu dibatasi hanya untuk parpol yang mempunyai kursi DPRD saja. Disni masalahnya.

“Seharusnya, Pembentuk Undang-Undang Pilkada Serentak tidak boleh memuat norma yang substansinya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya.

“Dulu MK bilang, kata “atau” pada ketentuan syarat pengusulan paslon menggunakan kursi “atau” menggunakan suara harus dimaknai sebagai alternatif diantara dua pilihan. Kalau parpol/gabungan parpol mau mengusung paslon dengan menggunakan kursi DPRD, silahkan. Kalau mau mengusung dengan menggunakan perolehan suara pun diperbolehkan. Ketentuan itu berlaku bagi parpol yang punya kursi maupun parpol yang tidak punya kursi DPRD,” tambahnya.

Menurut pakar Pilkada itu, kata “atau” menurut MK juga harus dimaknai sebagai sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi yang memungkinkan paslon yang diusung oleh partai yang tidak memiliki kursi di DPRD bisa ikut serta dalam Pilkada.

Oleh sebab itu, Partai Buruh akan mendorong KPU untuk menerbitkan aturan pencalonan di Pilkada 2024 dengan mendasari pada Putusan MK tahun 2025. Untuk menghindari keragu-raguan KPU, maka Partai Buruh juga akan mengajukan permohonan uji materi Pasal 40 ayat (30 UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi.

“Materi permohonan ke MK sudah kami siapkan, tinggal menunggu beberapa pemohon tambahan dari perorangan bakal calon Gubernur, Bupati, dan Walikota yang akan bersama-sama Partai Buruh menjadi Pemohon di MK,” tutup Said Salahudin.

 

Nikolaus Tolen
Nick Tolen