Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggodok pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Upaya ini dinilai untuk menghidupkan kembali hukum di era kolonial yang oleh banyak pengkritik menyebutnya akan menjadi alat kriminalisasi dan membatasi kebebasan berpandapat, yang mirip dengan hukum lèse-majesté Thailand.

Undang-undang ini adalah warisan dari pemerintahan kolonial Belanda selama 350 tahun, sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2006 karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh DPR, tindak pidana penghinaan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimunculkan kembali dengan perubahan dari delik yang bersifat biasa, menjadi delik aduan untuk melindungi kepentingan pelindungan presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara.

Baca Juga:  Komisi II DPR RI Setujui 26 RUU Kabupaten/Kota Disahkan dalam Rapat Paripurna

Delik aduan berarti setiap orang yang menghina presiden harus diadukan terlebih dahulu oleh pihak yang merasa dirugikan atau korban sebelum bisa diproses penegak hukum, sementara delik umum memungkinkan aparat memproses kasus tersebut dengan atau tanpa pengaduan dari korban.

Pada draft versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 rancangan undang-undang pidana.

Baca Juga:  Alasan Manto Tapung Dukung Paket Deno-Madur di Pilkada Manggarai 2020

Pemerintah dan DPR terus bersikeras untuk mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan “kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negera sendiri harus dilindungi.”

Selain dinilai inkonstitusional, pasal itu juga berpotensi jadi senjata politik penguasa. “Bisa ada muatan memukul lawan politik atas perbedaan pendapat,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Sabtu (31/8).