Menurut Hadjar, kehadiran pasal tersebut kian mengukuhkan tembok antikritik presiden. Jika pasal itu tetap disahkan, masyarakat jadi tidak punya daya kritis. Pasal itu juga seakan-akan melegalkan kepala negara untuk bersikap otoriter.

Karena itu, Fickar meminta agar RKUHP ditinjau ulang karena bisa disalahkangunakan oleh penguasa untuk menjatuhkan siapa pun, termasuk lawan politik. Kendati delik dari pasal itu adalah delik aduan, keberadaannya tetap saja berbahaya.

Upaya untuk memasukkan pasal  penghinaan presiden dalam hukum pidana sebenarnya sudah sejak 2015, setelah Presiden Widodo pertama kali dipilih. Itu kemudian ditolak oleh partai-partai oposisi. Dengan koalisi politik mendukung Jokowi memegang sekitar 60 persen dari 575 kursi di parlemen, undang-undang tersebut diharapkan akan disahkan. Bahkan Gerindra, partai Prabowo Subianto, yang kalah dalam pemilihan melawan Jokowi diharapkan mendukung perubahan tersebut.

Baca Juga:  Istana Dicurigai Tempat Pemenangan Gibran Pada Pilkada Solo

Lembaga pemerhati hukum yang berbasis di Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, dihidupkannya kembali undang-undang era kolonial ini merupakan upaya membangkang konstitusi dan sudah tidak relevan untuk negara demokratis.

Baca Juga:  Anwar Usman Protes Putusan MKMK Copot Jabatan Ketua MK: Ini Fitnah yang Keji!

Alasannya, kata mereka, Mahkamah Konstitusi pada 200 telah menyatakan bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945.

“Oleh karenanya MK menyatakan sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum,” ujar ICJR.