Tajukflores.com – Pembangunan memiliki tujuan mulia: menyejahterakan penerima manfaatnya. Namun, sering kali dalam era modern ini, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik.
Di berbagai belahan dunia, proyek-proyek pembangunan malah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat yang seharusnya diuntungkan. Pertanyaan kritis pun muncul: pembangunan ini sebenarnya untuk siapa?
Contoh nyata bisa kita lihat dari dinamika pariwisata di Labuan Bajo, sebuah destinasi wisata yang kini menjadi sorotan.
Labuan Bajo, dengan keindahan alamnya yang memukau, telah bertransformasi menjadi magnet pariwisata internasional. Keindahan Pulau Komodo dan kekayaan bawah lautnya menarik ribuan wisatawan setiap tahun.
Bagi banyak orang, pariwisata di Labuan Bajo adalah berkah ekonomi yang nyata. Masyarakat lokal menemukan peluang baru untuk meningkatkan pendapatan mereka, baik melalui perhotelan, restoran, pemandu wisata, maupun berbagai usaha kecil lainnya.
Infrastruktur semakin membaik, dan perekonomian lokal pun tumbuh.
Namun, di tengah gemerlapnya pembangunan pariwisata ini, muncul tantangan yang tak terduga. Baru-baru ini, muncul wacana untuk mengembangkan konsep wisata halal di Labuan Bajo.
Ide ini, yang bertujuan untuk menarik segmen pasar tertentu, telah menimbulkan penolakan dari masyarakat setempat.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat lokal merasa bahwa konsep wisata halal tidak sejalan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya mereka. Mereka khawatir bahwa penerapan wisata halal akan mengubah wajah Labuan Bajo yang telah mereka kenal dan cintai.
Pertanyaannya, mengapa pembangunan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan malah menimbulkan ketidaknyamanan dan penolakan? Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf terkemuka menawarkan pendekatan berbeda dalam melihat pembangunan.
Dalam bukunya “Development as Freedom,” Sen mengusulkan bahwa tujuan pembangunan adalah memperluas kebebasan manusia. Menurutnya, pembangunan harus dilihat sebagai proses memperluas kapabilitas dan kebebasan individu, bukan sekadar mencapai pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks ini, pembangunan pariwisata di Labuan Bajo harus dievaluasi berdasarkan seberapa besar dampaknya dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebebasan masyarakat lokal.
Tentu wacana wisata halal di Labuan Bajo perlu dikritisi agar kebijakan itu nantinya tidak menempatkan masyarakat lokal menjadi tidak berdaya, menderita dan akan terpinggirkan.
Pada sisi lain, upaya meningkatkan atau mempercepat kemajuan wisata Labuan Bajo yang sudah dilakukan atau pun yang akan dilakukan mendatang tetap sesuatu hal yang harus diapresiasi.
Tulisan ini, hanya suatu pandangan untuk mengkritisi wacana penerapan wisata halal di Labuan Bajo.
Konsep Umum Wisata Halal
Wisata halal adalah kegiatan kunjungan wisata dengan destinasi dan industri pariwisata yang menyiapkan fasilitas produk, pelayanan, dan pengelolaan pariwisata yang memenuhi syari,ah atau yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim yang ingin menjalani gaya hidup sesuai dengan ajaran agama mereka. Penerapan standar wisata halal mencakup adalah akomodasi, penyediaan makanan dan minuman, spa (sauna dan griya pijat) dan biro perjalanan wisata halal.
Dalam aspek akomodasi, segala fasilitas dan layanan harus memiliki akomodasi sesuai standar syariah. Tersedia fasilitas yang layak untuk bersuci, mudah untuk beribadah, makanan dan minuman halal, suasana yang aman, nyaman dan kondusif untuk keluarga dan bisnis; dan terjaga kebersihan sanitasi dan lingkungan.
Dalam menyediakan makanan dan minuman yang meliputi restoran, bar (kedai), kafe, dan jasa boga, penyedia makanan dan minuman wajib menjamin kehalalan makanan/minuman yang disajikan, mulai dari penyediaan bahan baku sampai proses penyajian yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Setiap pengusaha spa (sauna dan griya pijat) halal menyediakan: ruangan perawatan untuk pria dan wanita yang terpisah, terapi pikiran (mind therapy) dan terapi olah fisik tidak mengarah pada pelanggaran syari’ah; terapis pria khusus untuk pria dan terapis wanita khusus untuk wanita; dan sarana yang memudahkan untuk sholat.
Biro perjalanan wisata halal wajib menyediakan informasi tentang paket pariwisata halal dan perilaku wisatawan (code of conduct) pada destinasi pariwisata halal; dan menyelenggarakan paket perjalanan wisata yang sesuai dengan kriteria pariwisata halal berdasarkan prosedur operasional standar (SOP) yang mengacu pada ketentuan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Setiap pramuwisata pada biro perjalanan pariwisata halal harus memenuhi persyaratan memahami dan mampu melaksanakan nilai-nilai syariah dalam menjalankan tugas, berakhlak baik, komunikatif, ramah, jujur dan bertanggung jawab, berpenampilan sopan sesuai dengan nilai dan etika Islami; dan memberikan nilai-nilai Islami selama dalam perjalanan wisata.
Pelaksanaan wisata halal memang sangat bermanfaat bagi wisatawan Muslim dan bagi penyedia layanan yang mampu mengakomodasi kebutuhan mereka.
Namun, untuk memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan dengan cara yang adil dan efektif, perlu mempertimbangkan karakteristik dan budaya lokal, serta kesetaraan dalam akses dan peluang ekonomi.
Beberapa daerah sudah menerapkan wisata halal bahkan sudah membuatnya dalam bentuk peraturan daerah (perda). Di Tingkat provinsi yang sudah menerapkannya adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sumatera Barat (Sumbar). Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota adalah Kabupaten Bandung, dan Kota Banjarmasin.
Wisata halal yang sudah diatur melalui peraturan daerah menunjukan pemerintah daerah dan masyarakat setempat sudah bersepakat untuk menetapkan daerahnya adalah wisata halal.
Namun, daerah lain, yang konteksnya berbeda; baik dari segi budaya dan agama, wisata halal ini tidak dapat diterapkan begitu saja, bahkan mungkin saja tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan.
Kritik terhadap Wacana Wisata Halal di Labuan Bajo
Penolakan wisata halal di Labuan Bajo, bukannya tanpa dasar. Ada tiga aspek yang menjadi dasar penolakan wisata halal diterapkan di Labuan Bajo yaitu aspek budaya lokal, pemerataan pembangunan, dan pembangunan wisata Labuan Bajo pada masa yang akan datang.
Dari aspek budaya lokal, wisata halal itu sangat bertentangan dengan konteks Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah rumah bagi masyarakat dengan keragaman budaya yang kaya dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Wacana wisata halal, yang sering kali diartikan sebagai penyesuaian standar dan praktik yang sesuai dengan hukum Islam, dianggap oleh sebagian masyarakat setempat sebagai ancaman terhadap identitas budaya mereka.
Labuan Bajo hanyalah salah satu tempat yang dihuni oleh segelintir warganya dari seluruh warga kebanyakan yang ada di Manggarai Barat, atau pun dari seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Labuan Bajo tidak dapat dipandang sebagai tempat yang khusus, yang terpisah dari lingkungan sekitar tempat Labuan Bajo itu berada.
Dalam kondisi tersebut, Labuan Bajo haruslah tetap dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dengan lingkungan dan warga sekitarnya yang memiliki karakteristik budaya tersendiri yang sudah ada sejak dahulu kala.
Di wilayah Manggarai dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya adalah masyarakatnya yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama. Keberagaman ini memperkaya budaya lokal yang unik dan khas.
Salah satu ciri khas budaya masyarakat Manggarai atau NTT pada umumnya adalah hewan peliharaan seperti babi sangat melekat dalam tradisi dan kebudayaan.
Dalam budaya Manggarai, babi tidak hanya sekedar sebagai penghasil daging, tetapi juga sebagai hewan kurban dalam ritus adat.
Setiap upacara adat, masyarakat Manggarai seringkali menggunakan babi sebagai bahan untuk menghasilkan daging yang akan disajikan dalam acara tersebut. Bahkan, tanpa ada menu daging babi, menu pada acara tersebut tidaklah lengkap.
Dalam ritus-ritus budaya tertentu seperti kematian, syukuran budaya (penti) babi digunakan sebagai hewan persembahan. Hewan babi sebagai persembahan adalah simbol pengorbanan bagi masyarakat yang melaksanakan upacara adat tersebut.
Pengorbanan hewan tersebut mencerminkan komitmen spiritual atau kesetiaan terhadap nilai-nilai kepercayaan yang dijunjung tinggi.
Babi sebagai hewan persembahan juga diyakini memiliki peran sebagai perantara antara dunia manusia dengan dunia gaib atau alam spiritual. Hewan tersebut dipercaya dapat membawa pesan atau mewakili hubungan dengan roh atau dengan nenek moyang.
Hewan persembahan digunakan sebagai sarana untuk membersihkan atau memurnikan orang, tempat, atau benda-benda lain yang terlibat dalam upacara tersebut. Hewan tersebut bisa menjadi medium untuk mengusir roh jahat atau membersihkan energi negatif.
Kedua, aspek pemerataan pembangunan. Dalam kemajuan saat ini, daging babi yang sebelumnya hanya dikonsumsi dalam rumah tangga atau sebagai hewan persembahan, mulai dioptimalkan sebagai produk makanan baik dalam bentuk olahan maupun dalam usaha kuliner.
NTT terkenal dengan produk makanannya dengan bahan utama daging babi yaitu se,i babi. Saat ini banyak pula masyarakat yang membuka usaha warung atau pun restoran dengan bahan utama daging babi; sate, sop, dan bakso babi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.