Dari aspek budaya lokal, wisata halal itu sangat bertentangan dengan konteks Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah rumah bagi masyarakat dengan keragaman budaya yang kaya dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Wacana wisata halal, yang sering kali diartikan sebagai penyesuaian standar dan praktik yang sesuai dengan hukum Islam, dianggap oleh sebagian masyarakat setempat sebagai ancaman terhadap identitas budaya mereka.
Labuan Bajo hanyalah salah satu tempat yang dihuni oleh segelintir warganya dari seluruh warga kebanyakan yang ada di Manggarai Barat, atau pun dari seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Labuan Bajo tidak dapat dipandang sebagai tempat yang khusus, yang terpisah dari lingkungan sekitar tempat Labuan Bajo itu berada.
Dalam kondisi tersebut, Labuan Bajo haruslah tetap dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dengan lingkungan dan warga sekitarnya yang memiliki karakteristik budaya tersendiri yang sudah ada sejak dahulu kala.
Di wilayah Manggarai dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya adalah masyarakatnya yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama. Keberagaman ini memperkaya budaya lokal yang unik dan khas.
Salah satu ciri khas budaya masyarakat Manggarai atau NTT pada umumnya adalah hewan peliharaan seperti babi sangat melekat dalam tradisi dan kebudayaan.
Dalam budaya Manggarai, babi tidak hanya sekedar sebagai penghasil daging, tetapi juga sebagai hewan kurban dalam ritus adat.
Setiap upacara adat, masyarakat Manggarai seringkali menggunakan babi sebagai bahan untuk menghasilkan daging yang akan disajikan dalam acara tersebut. Bahkan, tanpa ada menu daging babi, menu pada acara tersebut tidaklah lengkap.
Dalam ritus-ritus budaya tertentu seperti kematian, syukuran budaya (penti) babi digunakan sebagai hewan persembahan. Hewan babi sebagai persembahan adalah simbol pengorbanan bagi masyarakat yang melaksanakan upacara adat tersebut.
Pengorbanan hewan tersebut mencerminkan komitmen spiritual atau kesetiaan terhadap nilai-nilai kepercayaan yang dijunjung tinggi.
Babi sebagai hewan persembahan juga diyakini memiliki peran sebagai perantara antara dunia manusia dengan dunia gaib atau alam spiritual. Hewan tersebut dipercaya dapat membawa pesan atau mewakili hubungan dengan roh atau dengan nenek moyang.
Hewan persembahan digunakan sebagai sarana untuk membersihkan atau memurnikan orang, tempat, atau benda-benda lain yang terlibat dalam upacara tersebut. Hewan tersebut bisa menjadi medium untuk mengusir roh jahat atau membersihkan energi negatif.
Kedua, aspek pemerataan pembangunan. Dalam kemajuan saat ini, daging babi yang sebelumnya hanya dikonsumsi dalam rumah tangga atau sebagai hewan persembahan, mulai dioptimalkan sebagai produk makanan baik dalam bentuk olahan maupun dalam usaha kuliner.
NTT terkenal dengan produk makanannya dengan bahan utama daging babi yaitu se,i babi. Saat ini banyak pula masyarakat yang membuka usaha warung atau pun restoran dengan bahan utama daging babi; sate, sop, dan bakso babi.
Begitu pula di Labuan Bajo saat ini. Masyarakat Manggarai sudah banyak yang membuka usaha warung, yang khusus menyediakan daging babi sebagi menu utama dalam berbagai bentuk; sei babi, sate, sup, rica-rica dan lain-lain. Hal ini tentu sangat baik untuk memberi pendapatan yang nantinya dapat memberi kesejahteraan bagi pelaku usaha tersebut.
Ketika masyarakat Manggarai sudah membuka usaha kuliner daging babi, hal ini tidak hanya membawa keuntungan bagi pelaku usaha kuliner daging babi, tetapi menggerakan seluruh jaringan mulai dari pemelihara babi, penyedia pakan, dan penjual daging babi.
Daging babi telah menjadi salah satu rantai pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Dalam wisata halal, sudah tentu, babi termasuk dalam kategori yang non halal (haram). Dengan demikian, usaha yang menggunakan daging babi sebagai bahan utamanya pun dilarang.
Tentu hal ini sangat mengganggu masyarakat Labuan Bajo yang selama ini sudah mendapatkan keuntungan atau menggantungkan hidupnya dari usaha warung (kuliner) yang berbahan babi. Begitu pula masyarakat umum yang hendak menikmati makanan daging babi, akan sulit menemukannya lagi.
Dari kondisi seperti ini, orang berpandangan, wacana wisata halal itu menghambat pemerataan pembangunan. Wisata halal, dengan segmentasi pasar yang lebih spesifik, berpotensi menguntungkan kelompok tertentu saja. Sementara masyarakat luas mungkin tidak merasakan manfaat yang sama.
Pembangunan wisata halal di Labuan Bajo, hanya dirancang untuk masyarakat yang memiliki pandangan halal. Masyarakat yang tidak memiliki pandangan halal tidak boleh terlibat karena itu haram.
Ketiga, masa depan pembangunan wisata Labuan Bajo. Labuan Bajo memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata yang mendunia dengan menawarkan keunikan alam dan budaya yang tak tertandingi. Namun, masa depan pembangunan wisata di Labuan Bajo harus direncanakan dengan hati-hati agar tetap berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat lokal.
Penolakan terhadap wisata halal juga didasarkan pada kekhawatiran akan dampak jangka panjangnya terhadap citra dan daya tarik wisata Labuan Bajo. Wisata halal mungkin menarik segmen pasar tertentu, tetapi bisa juga mengalienasi segmen lain yang mencari pengalaman otentik dari budaya lokal.
Labuan Bajo telah dikenal sebagai destinasi yang menawarkan keanekaragaman budaya dan kebebasan berekspresi, dan wacana wisata halal mungkin mengurangi daya tarik tersebut di mata wisatawan internasional yang menghargai pluralitas dan kebebasan.
Keempat, proses pengambilan kebijakan. Memutuskan Labuan Bajo sebagai wisata halal, tentu sangat bertolak belakang dengan konteks lokal Labuan Bajo itu sendiri serta Manggarai pada umumnya, termasuk Flores dan NTT secara keseluruhan. Mestinya, para pengambil kebijakan harus melibatkan masyarakat lokal. Mendengar pendapatnya dan memperhatikan karakteristik budayanya.
Para pengambil kebijakan wisata halal berdalil, bahwa wisata halal itu hanya untuk area-area tertentu. Tetap saja hal ini menimbulkan pertentangan.
Jika area tertentu yang dijadikan wisata halal itu adalah area pusat dinamika pariwisata, maka dengan adanya kebijakan wisata halal, area pusat itu hanya akan memberi keuntungan bagi orang-orang tertentu saja yang mampu menyediakan layanan sesuai dengan standar wisata halal.
Masyarakat lain, hanya karena non-halal, tidak dapat mengambil bagian untuk mendapatkan keuntungan. Sementara di area yang lain, yang bukan pusat dinamika wisata, masyarakat berebutan mengais rejeki dari wisata yang tersisa.
Masyarakat lokal di area non-pusat dinamika wisata hanya mempunyai peluang mengambil bagian dari wisata yang tersisa. Hal ini bisa menciptakan ketidakadilan ekonomi di antara berbagai kelompok masyarakat.
Editor : Alex K
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya