Begitu pula di Labuan Bajo saat ini. Masyarakat Manggarai sudah banyak yang membuka usaha warung, yang khusus menyediakan daging babi sebagi menu utama dalam berbagai bentuk; sei babi, sate, sup, rica-rica dan lain-lain. Hal ini tentu sangat baik untuk memberi pendapatan yang nantinya dapat memberi kesejahteraan bagi pelaku usaha tersebut.
Ketika masyarakat Manggarai sudah membuka usaha kuliner daging babi, hal ini tidak hanya membawa keuntungan bagi pelaku usaha kuliner daging babi, tetapi menggerakan seluruh jaringan mulai dari pemelihara babi, penyedia pakan, dan penjual daging babi.
Daging babi telah menjadi salah satu rantai pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Dalam wisata halal, sudah tentu, babi termasuk dalam kategori yang non halal (haram). Dengan demikian, usaha yang menggunakan daging babi sebagai bahan utamanya pun dilarang.
Tentu hal ini sangat mengganggu masyarakat Labuan Bajo yang selama ini sudah mendapatkan keuntungan atau menggantungkan hidupnya dari usaha warung (kuliner) yang berbahan babi. Begitu pula masyarakat umum yang hendak menikmati makanan daging babi, akan sulit menemukannya lagi.
Dari kondisi seperti ini, orang berpandangan, wacana wisata halal itu menghambat pemerataan pembangunan. Wisata halal, dengan segmentasi pasar yang lebih spesifik, berpotensi menguntungkan kelompok tertentu saja. Sementara masyarakat luas mungkin tidak merasakan manfaat yang sama.
Pembangunan wisata halal di Labuan Bajo, hanya dirancang untuk masyarakat yang memiliki pandangan halal. Masyarakat yang tidak memiliki pandangan halal tidak boleh terlibat karena itu haram.
Ketiga, masa depan pembangunan wisata Labuan Bajo. Labuan Bajo memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata yang mendunia dengan menawarkan keunikan alam dan budaya yang tak tertandingi. Namun, masa depan pembangunan wisata di Labuan Bajo harus direncanakan dengan hati-hati agar tetap berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat lokal.
Penolakan terhadap wisata halal juga didasarkan pada kekhawatiran akan dampak jangka panjangnya terhadap citra dan daya tarik wisata Labuan Bajo. Wisata halal mungkin menarik segmen pasar tertentu, tetapi bisa juga mengalienasi segmen lain yang mencari pengalaman otentik dari budaya lokal.
Labuan Bajo telah dikenal sebagai destinasi yang menawarkan keanekaragaman budaya dan kebebasan berekspresi, dan wacana wisata halal mungkin mengurangi daya tarik tersebut di mata wisatawan internasional yang menghargai pluralitas dan kebebasan.
Keempat, proses pengambilan kebijakan. Memutuskan Labuan Bajo sebagai wisata halal, tentu sangat bertolak belakang dengan konteks lokal Labuan Bajo itu sendiri serta Manggarai pada umumnya, termasuk Flores dan NTT secara keseluruhan. Mestinya, para pengambil kebijakan harus melibatkan masyarakat lokal. Mendengar pendapatnya dan memperhatikan karakteristik budayanya.
Para pengambil kebijakan wisata halal berdalil, bahwa wisata halal itu hanya untuk area-area tertentu. Tetap saja hal ini menimbulkan pertentangan.
Jika area tertentu yang dijadikan wisata halal itu adalah area pusat dinamika pariwisata, maka dengan adanya kebijakan wisata halal, area pusat itu hanya akan memberi keuntungan bagi orang-orang tertentu saja yang mampu menyediakan layanan sesuai dengan standar wisata halal.
Masyarakat lain, hanya karena non-halal, tidak dapat mengambil bagian untuk mendapatkan keuntungan. Sementara di area yang lain, yang bukan pusat dinamika wisata, masyarakat berebutan mengais rejeki dari wisata yang tersisa.
Masyarakat lokal di area non-pusat dinamika wisata hanya mempunyai peluang mengambil bagian dari wisata yang tersisa. Hal ini bisa menciptakan ketidakadilan ekonomi di antara berbagai kelompok masyarakat.
Bagaimana Pariwisata Labuan Bajo?
Melihat konteks Labuan Bajo, dengan masyarakatnya yang multikultural, maka pariwisata Labuan Bajo tetaplah pariwisata yang terbuka untuk semua orang.
Inilah yang disebut dengan pariwisata inklusif yaitu pariwisata yang berusaha untuk memastikan bahwa semua orang, terlepas dari latar belakang atau kondisi mereka, dapat menikmati dan mendapatkan manfaat dari pengalaman pariwisata dengan cara yang menghargai keberagaman dan menghormati hak asasi manusia.
Hal ini mencakup aspek praktis seperti aksesibilitas fisik dan informasi, serta aspek sosial dan budaya yang mencakup penghargaan terhadap keragaman dan keadilan sosial.
Bagaimanakah wisatawan Muslin dalam wisata inklusif Labuan Bajo? Wisatawan Muslim merupakan salah satu pasar wisatawan.
Untuk mengakomodir wisatawan Muslim, hal ini diserahkan kepada masing-masing pelaku pariwisata untuk memutuskan, mengambil pasar wisatawan yang mana, apakah wisatawan Muslin atau non-Muslim.
Jika pelaku usaha tersebut memutuskan menyediakan wisata halal, maka pelaku usaha itu dengan sendirinya harus menyediakan fasilitas dan layanan yang sesuai dengan standar pariwisata halal.
Sedangkan pelaku usaha wisata yang konvensional (non-Muslim) dapat terus memberikan pelayanannya tanpa harus mengikuti standar pariwisata halal.
Pariwisata halal tidak dapat diterapkan di pariwisata Labuan Bajo karena konteksnya sangat berbeda dengan daerah-daerah lain, baik dari segi budaya dan agama.
Pariwisata Labuan Bajo haruslah tetap disesuaikan dengan konteks budaya setempat, bukan mengikuti keinginan atau kemauan wisatawan.
Saya memngumpamakan, ketika masyarakat non-Muslim berkunjung ke tempat-tempat wisata seperti di Jawa atau pun negara-negara Timur Tengah, yang mayoritas penduduknya mengikuti agama Islam, tentu wisatawan non-Muslim itu tidak dapat memaksa agar fasilitas dan layanan yang ada di sana harus sesuai dengan keinginannya.
Wisatawan non-Muslim, seberapapun banyaknya dan menjanjikan secara ekomis, tidak dapat memaksa agar masyarakat lokal tempat wisata itu berada yang pada umumnya adalah Muslim, menyediakan fasilitas dan layanan yang haram menurut masyarakat setempat.
Wisatawan non-Muslim, misalnya tidak dapat memaksa menyediakan daging babi atau pun alcohol karena itu haram bagi masyarakat setempat.
Menghormati keyakinan agama dan budaya mereka adalah sikap yang sangat penting. Hal ini berarti Anda tidak boleh meminta atau mengharapkan daging babi disediakan untuk Anda selama Anda berada di tempat wisata yang mengatakan babi adalah haram.
Meminta hal tersebut tidak hanya bisa dianggap tidak pantas, tetapi juga bisa sangat mengganggu perasaan dan keyakinan masyarakat setempat.
Begitu pula sebaliknya. Jika Anda berkunjung ke daerah yang budaya setempat mengatakan babi adalah halal, maka Anda tidak dapat memaksanya, itu adalah haram.
Sebagai tamu, Anda sebaiknya menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan aturan lokal. Hal ini mencakup pilihan makanan yang disediakan, di mana biasanya makanan halal menjadi pilihan utama di negara-negara Timur Tengah.
Anda bisa mencari alternatif lain yang tersedia dan tetap menikmati pengalaman kuliner mereka tanpa mengganggu kepercayaan dan kebatinan mereka.
Penting untuk diingat bahwa saling menghormati dan menghargai perbedaan budaya dan agama adalah kunci untuk membangun hubungan yang baik dan berkelanjutan antar masyarakat dari berbagai latar belakang.
Pengambil kebijakan, mestinya haruslah memikirkan hal yang sama seperti itu. Ketika pariwisata dipaksakan untuk memenuhi standar-standar tertentu, maka pariwisata itu sudah tidak dapat terbuka, atau dinikmati oleh wisatawan secara umum.
Berwisata adalah menikmati keunikan yang ada di dearth tujuan wisata. Dengan demikian, penting untuk menghormati dan menghargai kepercayaan serta budaya masyarakat setempat.
Kembali kepada konsep Amarta Sen yang berpendapat bahwa pembangunan yang sejati harus memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta melibatkan mereka dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan.
Pembangunan yang top-down dan tidak mempertimbangkan konteks lokal sering kali gagal mencapai tujuannya dan malah menimbulkan penderitaan.
Penolakan terhadap wisata halal di Labuan Bajo mencerminkan ketidakpuasan masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Pembangunan, termasuk pariwisata, harus berfokus pada kesejahteraan semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat lokal. Proses pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, yang menghormati nilai-nilai dan tradisi lokal, akan lebih berhasil dalam mencapai tujuan kesejahteraan yang diinginkan.
Penolakan terhadap wisata halal di Labuan Bajo menunjukkan pentingnya dialog yang terbuka dan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Hanya dengan demikian, pembangunan bisa benar-benar menjadi berkah, bukan beban, bagi mereka yang menjadi penerima manfaatnya.
Dengan mengadopsi pandangan Amartya Sen, kita dapat memahami bahwa pembangunan harus difokuskan pada peningkatan kebebasan dan kapabilitas individu, memastikan bahwa setiap proyek benar-benar membawa kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat lokal yang menjadi penerima manfaat utama.
Oleh Silvester Deniharsidi
Pemerhati Pariwisata tinggal di Labuan Bajo
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.