Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), tetap berupaya mendorong penyelesaian setiap konflik di Pulau Adonara melalui pendekatan adat dan jalur budaya.
“Untuk penyelesaian konflik atau perang antarsuku atau antarkampung harus melalui pintu budaya Lamaholot kakan keru, arin baki atau kita semua ini bersaudara sedarah kakan arin dan saudara karena kita adalah Lamaholot yang dimeteraikan dalam koda kakan papa, arin lola,” kata Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli, Sabtu (7/3).
Menurut dia, hukum positif pengadilan bukan satu-satunya pilihan baik di Lamaholot, karena selalu menyisakan bayang-bayang musuh atau dalam bahasa Lamaholotnya kenetun yang bisa jadi potensi konflik baru.
“Metode penyelesaian pun berbeda antara konflik yang secara sejarah sosiologi sifatnya kasuistis yang pernah terjadi, atau sedang terjadi konflik atau perang tandingnya dan konflik perang tanding yang berpotensi akan terjadi di masa mendatang,” kata Payong Boli yang juga putra Adonara itu.
Khusus untuk kasus konflik perang tanding yang pernah atau sedang terjadi, penanganannya melalui tim perdamaian yang terdiri dari tokoh-tokoh adat netral yang punya kharisma tinggi.
“Kemudian di lanjutkan dengan langkah musyawarah masalah untuk mendengar kedua belah pihak, dan di ambil jalan tengah secara bijak berdasarkan kesepakatan para pihak, yang dimeteraikan dengan hukum positif berupa berita acara, dan dimeteraikan secara adat dengan darah hewan untuk kesepakatan damai turun temurun Nayu baya,” katanya menjelaskan.
Sedangkan untuk konflik atau perang tanding yang berpotensi terjadi atau bahkan tidak terjadi pun, perlu ada langkah forum Musyawarah Besar Lamaholot untuk bermusyawarah secara adat tentang penanganan masalah tanah atau lainnya, antar suku atau kampung harus melalui jalan musyarawarah damai atau “pupu koda gahin kirin”.
“Supaya ke depan, jika ada masalah tidak boleh lagi penyelesaian dengan cara perang tanding yang memakan korban,” katanya.