DPR telah mengesahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI pada 21 Maret 2023.
Beleid tersebut mendapat penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Para buruh dan mahasiswa terdepan menolak Perppu itu menjadi Undang-undang.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai penolakan dari berbagai elemen masyarakat wajar. Alasannya, karena perppu itu sejak awal memang sudah bermasalah.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah dinilai belum melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, tiba-tiba menyerahkan Perppu Ciptaker kepada DPR.
“Celakanya, DPR pun menerimanya dengan senang hati dan membahasnya secara tertutup. Pemangku kepentingan praktis tidak dilibatkan,” kata Jamiluddin dalam keterangannya, Kamis (23/3).
Dari sembilan fraksi di DPR RI, hanya Partai Demokrat dan PKS yang menolak, bahkan melakukan aksi walk out.
Tujuh fraksi pendukung pemerintah terkesan tidak memedulikan suara Partai Demokrat dan PKS.
“Kesannya tidak ada musyawarah mufakat dalam pembahasan Perppu Ciptaker. Fraksi yang tidak setuju diabaikan dan ditinggalkan begitu saja,” ucap Jamiluddin.
Menurut dia, pengesahan beleid itu terkesan siapa yang kuat akan menang. Prinsip itu, kata dia, tampaknya berlaku dalam pembahasan Perppu Ciptaker.
“Semua itu mengesankan DPR sudah berubah menjadi lembaga stempel pemerintah. Semua produk RUU dan Perppu yang diinginkan pemerintah disahkan dengan mulus oleh DPR,” tuturnya.
Ia mengatakan, DPR sudah seperti di zaman orde baru. “DPR menjadi lembaga stempel yang mengaminkan kehendak eksekutif, khususnya presiden,” katanya.
Jamiluddin mengingatkan DPR agar tidak boleh menjadi lembaga stempel lagi. Sebab, hal itu sudah mengingkari amanah reformasi.
Oleh karena itu, ia mendorong masyarakat harus bersikap kepada partai-partai yang mendukung mensahkan Perppu Ciptaker menjadi UU.
Jamiluddin mengatakan, sikap itu seyogyanya tegas dengan memberi sanksi kepada partai pendukung Perppu Ciptaker pada Pileg 2024.
Ia mengatakan, hal itu perlu dilakukan agar partai politik dan anggota DPR tidak semena-mena mengabaikan aspirasi rakyat. Selain itu, mereka juga tidak boleh terus di DPR RI karena akan melanggengkan legislatif sebagai lembaga stempel.
“Jadi, lampu merah tentang pelemahan DPR sudah kasat mata. Hal itu harus dihentikan dengan tidak memilih mereka pada Pileg 2024,” pungkas Jamiluddin Ritonga.